Cerita ini aku persembahkan untuk seorang laki-laki nomor satu di hatiku
remake Di Tengah Langit yang Gelap
"Kamu boleh pilih baju yang mana saja yang kamu suka."
Kalimat itu mungkin kalimat terpanjang yang diucapkan bapakku hari itu. Aku masih berusia 4 tahun. Pertama kalinya untukku memasuki sebuah toko besar dengan baju-baju yang sangat banyak.
Dan itu juga pertama kalinya aku memilih.
Dan itu juga pertama kalinya aku memilih.
Perasaan seorang gadis kecil, memilih gaun lebaran sebagai hadiah dari Bapak nya, ternyata sungguh luar biasa. Aku menggenggam tangan Bapakku semakin erat, ragu harus memilih yang mana. Diantara baju-baju indah yang ditunjukkan kakak-kakak di sana, tidak ada satupun yang tidak aku suka. Bapakku mengerti. Beliau berjongkok untuk menyamai tinggi badanku dan mengambil satu gaun terdekat. Dari raut mukanya yang selalu datar itu, ia tampak menimbang apakah gaun itu cocok untuk putri bungsunya ini.
Ketika orang bilang, sosok ayah adalah kekasih impian setiap anak perempuan, mungkin benar. Bagaimanapun rupa dan sifat Bapak, dia masih menjadi laki-laki pertama yang mencuri hatiku. Sosok yang berjalan bersebelahan di sebrang cermin. Memantul setengah sifat dan kepribadiannya padaku.
"Kok bisa-bisanya dua orang ini bisa tidur dengan posisi seperti ini."
Sindiran Ibu, memang yang paling cocok untuk mengingatkan kemiripan kami yang luar biasa. Tidur dengan posisi kaki bersila di udara adalah keunikan kami. Orang biasa mungkin akan pegal, atau tidak sadar menurunkan posisi kakinya saat lelap. Tapi kami, sangat jago mempertahankan posisi itu. Seberapa lamapun kelelapan tidur kami diuji. Bapak bukan tipe orang yang banyak bicara, dan aku tipe orang yang sangat betah dengan keheningan. Atau dalam kata lain, kami hanya malas mencari topik.
Pernah suatu ketika di masa itu, aku mengunjungi tempat kerja Bapak. Bapak adalah seorang penjaga tambak. Profesinya ini sebenarnya lumayan umum di kota kami. Jadi bisa dibilang hampir semua orang tau, frekuensinya berada di rumah bisa dihitung dengan jari, pertahun. Sebagai seorang gadis bungsu dari keempat puterinya, aku seharusnya diberi perhatian lebih. Tapi Bapak sangat jarang pulang. Tidak ada waktu khusus untuk memanjakanku. Jadi ketika untuk pertama kalinya aku melihat beliau di samping gubuk, walaupun jaraknya masih jauh diujung sana, aku berlari melewati pematang kecil menuju laki-laki paling aku cintai sedunia.
"Bapaaaak!"
Aku berteriak sekuat tenaga memanggilnya. Lebih dari satu windu aku tidak melihatnya, lebih dari satu tahun aku hanya berharap dalam hati mungkin bapakku bisa mengambil raporku sekali saja. Dan lebih dari keinginanku yang lain aku ingin memeluknya. Aku tidak peduli walau badannya masih kotor dengan lumpur, aku tidak peduli dengan sandalku yang sudah rusak karena berjalan berkilo-kilo meter untuk sampai ke tempat ini. Aku hanya ingin bertemu Bapak.
Sebuah pelukan menghilangkan semua resah. Ini Bapakku.
Jika sekarang memori itu diputar, sebenarnya ada belasan kejadian yang mirip dengan hal itu. Aku hidup dengan ketiga kakak perempuanku, dan ibuku. Kami berlima wanita, jelas tangguh karena terlalu lama hidup tanpa dukungan laki-laki. Bapak itu, seperti pelita dalam kotak kami yang rapat. Kedatangannya sangat diharapkan. Kedatangannya adalah berkah yang selalu dipanjatkan dalam doa gadis-gadisnya. Menjadi mandor proyek listrik masuk desa di awal karirnya membuat bapak jarang di rumah sejak kami kecil. Baik dari kakak pertamaku, hingga aku sekarang, keberadaan Bapak saat lebaran adalah kemenangan atas doa-doa kami.
Jadi ketika Bapakku itu pulang di malam takbir, belum kaki itu menginjak rumah, seluruh putrinya akan berlari, berlomba untuk memeluknya. Menasbihkan namanya, berebut perhatiannya. Aku masih sangat kecil saat itu, untuk mengerti arti keberadaan Bapak. Dan sekarang aku mengerti, mengapa sepanjang liburan kakak-kakakku tekun membuat kerajinan. Waktu luang yang mereka miliki di sisa kan untuk mengais recehan untuk membelikan bapakku 'kado' selamat datang. Karena ketika momen seperti ini, kakak-kakakku ingin membuat bangga bapaknya. Membuat bangga, seseorang yang berharga untuk mereka.
Dan ketika aku memilih mengorbankan waktu liburanku, untuk berjalan jauh menuju tempat kerjanya, yang aku syukuri ada dalam kota kami, aku merasa semuanya pantas. Aku tau, ibuku yang menyusul di belakangku sudah menitihkan airmata saat mencium tangan Bapak. Tidak ada kata lain selain salam. Kami tertiga hanya bertatapan, seolah tidak ingin merusak kebahagiaan kecil ini.
Salah satu siang terindah dalam hidupku itu aku habiskan bersama bapak memutari tambak ikan yang luasnya beratus-ratus meter. Dimanapun mata memandang, yang terlihat hanya 'waduk-waduk' besar dengan air jernih hingga dasarnya terlihat.
"Waaah, ikannya lari-lari. Apa ikannya boleh dimakan?"
Bapakku tersenyum, jenis senyuman indah yang mungkin tidak akan pernah aku lupakan.
"Mau mancing?" Aku mengangguk antusias. Jadinya, bapak harus menggendongku ke punggungnya dan membawa kami kembali ke gubuk, mengambil beberapa peralatan dan mengeduk tanah untuk mencari cacing.
"Caciiiingnya lucuu." Aku menarik-narik makhluk berlendir itu tanpa jijik. Sesekali ibuku yang mengintip dari dalam gubuk bergidik saat aku menunjukkan buruan cacing kami yang kelewat banyak.
Bapakku kemudian menggiringku ke sebuah titihan bambu yang ujungnya terdapat sebuah rakit. Karena senangnya menebak akan dibawa kemana, aku berlari kearah titian dan tanpa takut melompat ke arah rakit bambu. Hop! Rakit oleng dan aku hampir terjatuh ke tambak. Tangan Bapak menahanku, menangkap tubuh kecil putrinya yang hampir jatuh ini. Dengan perasaan yang masih terkejut, aku menoleh ke arah bapak, wajahnya yang datar kini sirat kekhawatiran.
"Hati-hati." Hanya dengan dua kata kembar itu sudah cukup untuk membuatnya menjadi pahlawanku.
Ah, aku jatuh cinta.
Bagaimana seorang gadis tidak jatuh cinta jika diajak merakit di tengah 'danau' romantis sambil sesekali menertawakan pancingan kami yang hanya dapat menarik ikan kecil. Bagaimana seorang gadis tidak jatuh cinta ketika lelaki ini menggandeng tangannya dengan protektif, sambil menangkap bunga pohon waru yang baru jatuh dan langsung diberikannya pada sang gadis. Bagaimana ini semua tidak bisa disebut cinta jika perasaan bahagia yang kini menyesaki dadanya seolah meluber hingga wajah.
Cinta pertama gadis kecil ini adalah pada Bapaknya.
Sore indah itu meninggalkan semburat oranye dilangit yang memendarkan perak pada awan sirus tipis. Aku sudah menguap, kekenyangan saat bapakku menggiringku se satu tempat lagi.
"Sstt, jangan berisik ya nanti."
Aku memeluk erat leher Bapak dari belakang saat beliau mengendongku menuju tambak tetangga. Tambak itu berbeda dengan tambak lainnya. Selain ukurannya yang sangat luas di tengahnya terdapat sebuah daratan yang di mataku diterjemakan sebagai pulau tengah danau. Lucu sebenarnya jika membayangkan imajinasiku dulu berharap di tengah 'pulau' itu ada kastil. Tapi bukan kastil raja yang aku dapatkan, tapi puluhan burung bangau putih terbang melesat di atas kepalaku seolah saat aku menggapainya aku akan benar-benar bisa menyentuh mereka.
Semakin sang surya tergelincir, semakin banyak burung yang menukik turun dari segala penjuru, ke pulau itu.
Putih.
Ya. Pepohonan di tengah daratan itu secara ajaib berubah menjadi putih. Aku sampai tidak bisa mempercayai mataku sendiri melihat 'salju abadi' itu mengubah keseluruhan ujung pohon, hingga tanah dibawahnya menjadi putih.
"Waaaaw, cantik!"
Bapakku tersenyum, bahagia melihat anaknya yang terkesan dengan 'kejutan' kecil itu. Wajah bapakku yang merona bahagia itu membuatku bertanya-tanya bagaimana ibu dan bapakku dulu bertemu.
"Di bawah pohon pisang."
Aku hampir menyemburkan makan malamku saat aku mendengar jawaban konyol ibuku itu. Hari ini aku kembali mengunjungi Bapak di gubuk kecilnya sambil bernostalgia. Sudah bertahun-tahun lalu sejak aku memilih menghabiskan liburanku hanya demi waktu berharga kami bertiga di sini.
Kami sudah menyalakan ublik dan obat nyamuk saat malam tiba. Percakapan kecil yang memicu tawa itu membuatku penasaran setengah mati dengan jawaban apa yang akan muncul dari Bapak.
"Dimana bapak-ibu dulu pertama ketemu?"
Semburat merah di wajah itu samar-samar terlihat di tengah cahaya ublik yang tidak seberapa. Bapakku sepertinya enggan menjawab langsung. Jadinya rayuan maut dan sindiran-sindiran kecil muncul dari mulutku hanya untuk mengetahui rahasia kecil itu.
"Di pertunjukan Wayang."
Aku mengerutkan kening.
"Kok beda sama jawaban ibu?" Aku mencium adanya ketidakberesan. Hingga ibuku masuk ketengah-tengah kami, menepuk pundakku pelan dan berujar.
"Di bawah pohon pisang dekat pertunjukan wayang." Aku tidak bisa menahan tawa saat ibuku membenahi jawaban mereka yang acak. Saat aku korek dengan dalam bagaimana gaya berpacaran bapak, ibu menjawabnya dengan cukup antusias sambil sesekali menertawakan masa lalu.
"Bapakmu dulu pernah ngirim surat. Surat cinta. Kebayang bagaimana bapakmu yang buta aksara itu bisa menulis surat cinta untuk ibumu ini. Ibu yakin, ada teman yang disogok ikan agar mau menuliskan surat cinta itu."
Kami bertiga tertawa. Masih dalam atmosfer bernostalgia yang kental. Melihat mereka berdua tertawa seperti ini mungkin mengikis sedikit kekhawatiranku dengan hubungan mereka yang mulai panas. Ibuku mulai suka mengomel dan bapakku selalu enggan menjawab semua pertanyaan ibu hingga memicu pertengkaran lain.
Tapi malam ini, melihat kami berkumpul saling mengorek cerita masa-masa lalu membuat aku yakin bahwa mereka baik-baik saja. Mereka masih dua orang yang saling mencintai. Masih dua orang yang, walaupun tanpa banyak kata, sudah mengisyaratkan kasih.
Aku cemburu.
Cemburu pada tatapan mata bapak yang masih memuja ibuku. Oh Tuhan, boleh kah aku merasakan ini? Bolehkah aku berharap bapakku juga memandangku dengan cinta setulus ia memandang ibuku?
Hingga aku mengingat suatu malam dimana Bapakku membangunkanku di tengah tidur lelapku.
Angin dingin langsung menusuk ketika aku keluar kamar. Bapakku sudah menyiapkan jaket tebalnya dan menawarkan selimut tambahan jika masih dingin.
"Ikut bapak keliling jaga, yuk."
Ajakan ini tidak biasa. Katanya malam ini alam tampak lebih indah, dan bapak ingin aku melihatnya. Jadinya, aku memaksakan tubuhku melawan dingin dan melumuri seluruh tangan dan kakiku dengan lotion anti nyamuk. Berharap pemandangan yang aku lihat nanti akan benar-benar seindah yang dibicarakan.
Oh, sungguh, aku bahkan belum menginjakkan kaki di luar gubuk sampai aku bisa melihat keindahan di depanku. Aku pernah melihat pohon natal dengan ratusan hiasan, lampu, dengan berbagai bentuk, ukuran dan model. Tapi yang ada di depanku ini jelas sama sekali berbeda dengan mereka.
Pohon waru kembar di depan gubuk, malam ini memendarkan ribuan cahaya berkelip dengan ritme yang rapi. Bukan karena lampu hias, namun sekarang ada ribuan kunang-kunang terbang dan berlomba menempel pada daun, dan batang waru yang menjulang tinggi. Bayangkan itu kawan, ribuan kunang-kunang kini beterbangan di sekitarku, melayang rendah ke arah pohon waru dan menghias mereka. Aku merasa seolah menjadi peri pohon pixie. Tak ada kata apapun yang bisa keluar dari mulutku. Tak sepatah katapun, bahkan untuk mengungkapkan kekagumanku.
Ini keajaiban.
Sungguh, aku hanya bisa terpaku melihat mereka sampai aku sadar, di puncak pohon itu, berdekatan dengan posisi bulan sabit, bintang-bintang malam ini terlihat merendah, seolah ingin berlomba menghias pohon. Aku menutup mulut, tidak percaya dengan keindahan yang terlalu banyak ini. Bapakku tersenyum, ikut menikmatinya.
Kepalaku masih mendongak menatap langit saat Bapak menggiringku ke sebuah bangku bambu di dekat pohon waru. Bapak berjongkok mengumpulkan kayu bakar dan membuat api unggun, mengundang hangat sekaligus mengusir nyamuk. Bapak mengambil tempat di sebelahku. Duduk dengan khusuk sambil menikmati bintang.
"Apakah pemandangan seperti ini sering terjadi?"
"Apakah pemandangan seperti ini sering terjadi?"
Aku bertanya lirih, lebih seperti ungkapan kekaguman daripada sekedar menginginkan sebuah jawaban.
"Kadang-kadang."
Oh, apalagi kata yang aku harapkan muncul dari Bapakku.
"Kamu tau bagaimana cara bapak mengatasi sedih karena jauh dari kalian?"
Seketika aku menoleh. Bukan hanya karena pertanyaannya yang menarik, tapi juga pertama kalinya aku mendengar bapak berinisiatif memulai percakapan.
"Bapak melihat bintang-bintang itu." Tanpa sadar aku mengikuti arah pandang Bapak ke langit.
Kami sama-sama melihat bintang. Tapi Bapak seolah tidak berniat meneruskan penjelasannya itu. Aku tidak keberatan, dan ikut menatap bintang dengan diam. Dalam hati aku menggumamkan pertanyaan-pertanyaan tak terucap. Tentang rindu bapak. Tentang kami. Dan tentangnya.
"Apa Bapak mencintai pekerjaan Bapak?"
Tidak ada jawaban langsung, tapi beliau mengalihkan pandangnnya ke arahku.
"Bapak lebih mencintai keluarga Bapak."
Bukan jawaban muluk. Dan tidak memiliki kata 'karena' untuk menegaskan semua. Tapi saat bapak mengucapkan itu dengan pandangan itu, dengan sumur keruh dalam bola matanya yang berkilat, aku lebih dari tau, Bapak telah mengatakan isi hatinya. Beliau mencitai kami.
Aku tidak perluh mengajukan pertanyaan lain untuk mempertegas itu. Apa yang ada di sekelilingku ini cukup menjadi bukti. Aku masih menatapnya, walau kini bapakku sudah berjongkok memperbaiki unggun yang mulai redup. Sebenarnya aku ingin menanyakan banyak hal. Tentang pekerjaan bapak dulu, tentang keluarga besar bapak, dan yang paling penting tentang bapakku sendiri.
"Apakah dulu banyak orang baik yang dekat dengan bapak?"
Bapakku tersenyum. Aku dapat melihat sunggingan tipis dalam remang bayangan api unggun.
"Pada dasarnya, semua orang punya sifat baik, nduk."
Aku merapatkan jaket sambil menatap bintang. Sesekali melontarkan pertanyaan untuk membuat bapak bercerita lebih banyak. Beliau bercerita mengenai pelancongannya menjadi mandor proyek listrik masuk desa. Banyaknya orang hebat, baik hati, dan berbagai macam sifat manusia yang ditemuinya di berbagai daerah. Dari nadanya berbicara, aku tahu beliau merindukan mereka. Merindukan saat dimana dia pernah menjadi bagian dari dunia.
"Jadi, mereka memberikan semua buah-buahan itu dengan gratis? Sebegitu banyak? Satu mobil penuh?" Bapak kembali tersenyum memperlihatkan deretan gigi nya yang masih lengkap walau menguning karena rokok.
"Ya, mereka orang baik."
Mungkin karena bapakku sendiri orang baik. Kami dulu memang hidup cukup, tapi tidak pernah lebih. Ibu sering bilang, bapak itu tak tegaan. Sering memberikan uangnya begitu saja saat ada teman atau saudara yang meminta bantuan. Jadi ibu tidak heran ketika banyak hasil panen yang datang ke rumah kami sebagai hadiah terima kasih dari warga pelosok yang kampungnya didatangi tim bapak.
"Kalau kita memberi baik. Kita akan dapat baik."
Begitu ibuku selalu mengulang wejangannya pada putri-putrinya. Tapi begitulah bapakku. Sosok sederhana, yang misterius. Bukan bapak tidak punya cela. Hanya saja, sebagai putrinya aku praktis memujanya.
"Jadi saat disuruh memilih sendiri bunganya, bapak pilih yang mana?" Aku bertanya dengan nada penasaran saat cerita kami masuk pada petualangan bapak di Malang. Saat itu, seorang penduduk ingin memberikan tanda terima kasih dengan bunga-bunga yang boleh dipilih bapak sesukanya.
"Banyak yang cantik."
"Terus...?"
"Terlalu bagus, jadi bapak pilih yang biasa saja."
Aku terhenyak seolah ada sesuatu yang melesat dalam dadaku.
"Bunga Desember yang ada di halaman rumah. Itu bunga pilihan bapak." Pikiranku kembali memproses citra bunga merah tanpa kelopak dengan benang-benang sari memutar hingga berbentuk bulat sempurna itu. Bunga itu hanya muncul saat hujan pertama di bulan Desember. Hari dimana bapakku pulang kembali ke rumahnya.
Aku kembali tersenyum. Itulah bapakku. Sosok yang sangat mirip denganku.
Aku kembali mengingat saat di toko besar itu. Saat gadis kecilnya ini diberikan pilihan memilih belasan baju cantik, pilihannya malah jatuh pada baju sederhana dengan warna yang tidak mencolok. Gadis itu tidak ingin yang mewah, ia hanya ingin yang pantas untuk diterimanya.
Maka ketika bapakku kembali mengambil tempat duduk disebelahku menunjuk langit, ke arah bintang jatuh berekor biru, do'a yang kupanjatkan saat itu adalah agar bapakku, ibuku, dan keluarga kami bahagia. Sesuatu yang pantas di dapatkan oleh jiwa kami yang ingin mengembara dalam jalan kebaikan.
Bolehkah aku egois? Meminta do'a yang sama disetiap bintang muncul paling terang, dan waktu setelah dua salam? Ibuku juga selalu meminta hal yang sama. Melengkapi daftar lafadz mimpi yang bertumpuk. Dan bolehkah aku memaksa agar hal itu dikabulkan? Aku yakin, tak perluh mengancam pun Tuhan sudah tahu apa yang terbaik untuk kami.
Karena di setiap waktu, pendar, kepak, dan angin yang bertiup, di setiap kelip, langkah, puja dan harapan, ada keinginan yang kami bangun, ada ikhlas yang kami hembuskan. Pada setiap lembar itu pula, bahagia itu yang kami rengkuh untuk disyukuri dari doa yang terjabahi.
aku terharu dan hanyut ke dalam cerita, seolah aku berada di sebuah pasar dengan banyak pilihan baju dimana bapak (alm) juga menyuruhku untuk memilih baju lebaran mana yang aku suka, meskipun berulang kali aku memutari karna bingung memilih, bapak masih tetap setia menuruti keinginan anak perempuannya.
BalasHapuswanna hug you, right now kak che.....
HapusKariBet - The online casino - Kadangpintar
BalasHapusWelcome to KariBet, the leading online casino of KARANG PENTAS. septcasino Bet 메리트카지노총판 across all online casinos, games, 온카지노 casino & poker with free spins, no deposit