Jumat, 02 September 2016

Dongeng Masa Muda



Orang bilang, yang mirip itu berjodoh.

Seperti berdiri di depan cermin, aku melihatmu dalam batas kaca tipis. Perangaimu mengingatkanku pada muda yang sudah lalu. Pada pagi yang telah terlewat. Kau berdiri menantang ombak tinggi. Lupa karang yang memperingatkan dasyatnya lautan. Menarikku pada pusaran arus waktu. Mengembalikan memori dalam tiap butiran pasir yang kita pijak.

Kita bisa, berbicara tentang banyaknya bintang dalam satu lubang sedotan yang kau intip. Kita bisa, menjabarkan alogaritma bilangan biner yang bahasannya hanya seputar 0 dan 1. Tapi yang asing tak boleh terbiasa. Supaya masih ada jarak yang bisa dipandang. Agar masih ada tanya dibelakang koma. 

Karena kata orang, yang sama itu tak akan bisa menyatu. 

Kita telah terpisah dalam peran kursi depan dan kursi belakang. Jarak yang kau buat dalam imaji seorang tuan putri. Tidurmu tak butuh dibangunkan ksatria, walaupun tak sampai semeter di depanmu ada pangeran kodok mengintip dari spion. 



Hei kau, anak gadis kesasar yang terdampar di teras kos. Siapa yang tidak iba melihat anak kucing buangan memelas di antara tas carrier dan sleeping bag. Merengek-rengek mau melihat pantai. Dan kau seolah tidak sadar itu jam berapa. Tanggal berapa. Mengetuk sarang kodok. Atau pada saat itu lebih terlihat seperti sarang harimau, lapar. 

Akupun sama, kembali terjebak pada trik murahan yang sebenarnya aku tau hanya tipuan. Tapi itu bukan masalah. Toh aku menikmati setiap percikan ajaib yang memendar dari mata bulat yang kadang melirik tajam. Aku mengagumi senyum tipis mencurigakan dari pesulap amatir yang ingin menunjukkan keahlian baru. Dan tentu saja, sangat menyukai martabak manis isi keju tiramishu yang kau bawa sebagai sogokan. Kembali aku jadi kodok. Kenyang.

“Kabulkan tiga permintaanku!”
Aku salah. Kau bukan pesulap. Tapi aladin tidak tau diri. Atau tukang begal tikungan bangjo depan mie ayam pak man. Atau hanya seseorang yang mau membagi tiupan lilin ulang tahunnya bersamaku. Bersama kodok setengah harimau yang setia bersama tuan putrinya. Mengabulkan keinginannya. 

Untuk setiap tiupan lilin yang kita bagi, aku mengabulkan keinginanmu tepat pada hitungan yang equal. Tak boleh kurang, apalagi lebih. Sama dengan nol. Harga pantas untuk sebuah mimpi dan olokan yang di barter tanpa hitungan. Makhluk ajaib sejenismu cuma ada satu. Harus ada aku supaya berimbang. Supaya tidak mencolok. Berbaur dengan spesies langka dalam suaka margasatwa. 

Untuk sebuah paket hemat, beli satu dapat dua. Kau tidak seharusnya membiarkan aku terbangun tanpa menemukanmu di kursi belakang. Membiarkanku, untuk pertama kalinya melihat punggung sang tuan putri. Yang tidak gembira. Yang tidak nestapa. Yang biasa saja. Seperti rakyat jelata yang bersantai pinggir pantai. Masih indah. 

Untuk itu aku menjelma menjadi fana. Belum mandi dan gosok gigi. Sesekali manguap saat berjalan kearahmu. Sambil mengucap salam pada pagi. Pada matahari. Pada mantan tuan putri.

Aku percaya, jodoh di tangan Tuhan.

Jadi biarkan saja puja dan pujimu meluncur melambungkan hati. Mengingatku kau masih gadis biasa. Yang menangis saat terjatuh dari sepeda. Atau kembali tertawa hanya dengan ice cream tiga ribu rupiah. 

Cermin yang ku tatap selama ini sebenarnya tak benar-benar memantulkan duniaku. Kanan kiri masih sebuah ambigu yang takut salah tafsir. Mimpi bahagia selama-lamanya masih ditulis dalam buku dongeng yang tidak kunjung jadi nyata. 

Tapi ini hanya sebuah pilihan. Ketika kaca pembatas cermin tak pernah dianggap. Ketika kaca spion hanya jendela kecil. Maka bahagia selamanya diatas kertas sama saja dengan goresan nasib di telapak tangan. Tinggal kita berpikirnya bagaimana. Tinggal kita merasanya bagaimana....,?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar