Bukan maksud terkutuk untuk selalu terjebak di suatu waktu denganmu. Siapa juga yang tidak bosan mendapatkan pemandangan sepertimu setiap hari? Tapi buktinya aku tidak menyesal terlalu sering menatap punggungmu dari kursi belakang mobil seperti ini. Walaupun berjuta kali kamu mengomel dengan kalimat ‘aku bukan supirmu’, toh juga kamu tidak keberatan aku berakhir menguasai kursi belakang mobil sebagai teritori milikku. Seperti perasaanku saat ini, yang tidak keberatan mendapati diri terbangun di pagi buta dengan suara ombak dan kamu tidur tak lebih dari semeter di depanku.
Aku mengerjap mata sebelum tersenyum mendapatimu tidur dengan pose luar biasa aneh dengan mulut mengagah dan posisi badan yang aku yakin sangat tidak nyaman terjebak di kursi supir. Iseng, aku mengambil handphonemu dan mengabadikan pose mengerikan ini untuk suatu hari dapat kita tertawakan bersama.
CEKRIK!
Terkejut, hampir aku kehilangan keseimbangan jatuh ke jok depan, tepat di pangkuanmu. Tak tahu aku ini beruntung atau tidak mendapati diri hanya bisa mematung, setelah detik berikutya, matamu terbuka dan aku terlalu tercengang untuk seharusnya terjungkal. Untung nyawamu belum lengkap, jadi yang kau lakukan hanya bergumam tidak jelas dan kembali tidur.
Aku menghela nafas lega. Untung saja!
Pernah kejadian memalukan seperti ini terjadi. Ketika pertama kali aku mencoba memakai rok panjang berkibar-kibar sambil mengendarai sepeda di pinggir pantai. Pantai ini. Tepat di ujung jalan setapak sana, setahun yang lalu, aku mengolokmu yang tidak bisa mengendarai sepeda atau motor atau kendaraan apapun beroda kurang dari tiga, di usia yang hampir menginjak dekade ketiga. Dengan PD nya aku bersepeda mengelilingmu seolah bertawaf sambil melafadkan do’a-do’a yang sebenarnya adalah sindiran-sindiran kecil tentang kekuranganmu itu. Dan juga kekurangan mu yang lain, tentu saja.
Sebut saja seperti potongan rambut yang ketinggalan jaman, atau kebiasaanmu memakai kaos kaki sebelum tidur atau selera makanmu yang tidak bertoleransi dengan pedas. Dari pada seorang penumpang, aku lebih cocok disebut sebagai kritikusmu. Oke, oke aku mengaku sebenarnya aku lebih pantas disebut bullier sejatimu. Haha.
Yang jelas, saat itu, aku sangat senang, karena walaupun kamu di-bully, kamu tidak membalas memakiku dan hanya melontarkan komentar ‘biarin’ andalanmu meluncur konstan seperti kaset rusak. Sambil sesekali ikut menetawai diri sendiri yang memang konyol. Sangat membahagiakan untukku yang ingin sekali meluapkan kepenatan setelah seminggu lebih dilebur dengan deadline yang baru saja berakhir.
Aku berhenti mengayuh sepeda. Mengatur pose kemenangan di atas sepeda pancal yang kusewa sepuluh ribu rupiah pada pemilik toko kelontong di ujung sana.
“Ckckck, Anak kecil kok berani-berani sama orang yang lebih tua, kualat kamu nanti.”
“Oh, jadi sadar kalau udah tuaa.... tapi naik sepeda aja nggak bisa wakakakakakaka...”
Adegan berikutnya akan mengajarkan apa arti kualat yang sebenarnnya. Jadi saat berniat turun dari sepeda, aku membiarkan kesombonganku menyedot fokusku untuk mempertahankan alunan tawa yang meliuk-liuk. Tapi, dengan bodohnya, membiarkan rokku tersangkut jeruji roda sepeda dan menghadiahi pose terjerembab indah yang mengelorakan tawa terkerasmu hari itu. Bagus sekali.
Aku tidak bisa melupakan momen itu. Bukan karena kejadiaannya terlalu memalukan. Sebenarnya, lebih banyak hal yang lebih memalukan yang pernah aku lakukan di depanmu. Hanya saja, hari itu, untuk pertama kalinya aku menyadari ketulusanmu.
Walaupun kamu tertawa, tapi matamu masih menelisik apa ada luka yang menggores tubuhku. Dan tanganmu dengan sigap menyingkirkan sepeda yang menindihku kemudian membopongku kepinggir. Habis tawamu, malah kau ganti dengan wejangan-wejangan super cerewet yang bahkan lebih berisik dari gonggongan anjing Dobberman tetanggaku. Tapi tetap saja, aku tidak bisa melupakan wajah khawatirmu hari itu.
Aku tahu kamu peduli. Makanya kamu rela menuntun sepeda itu kiloan meter dengan aku diboncengan. Aku tahu kamu perhatian, karena sepeda itu kau tuntun jauh-jauh ke klinik terdekat padahal lukaku hanya perlu diberi plaster dan obat gosok untuk kakiku yang sedikit memar.
Untuk itu, hari ini aku bersikeras untuk datang ke pantai ini. Menculikmu dari koshan tengah malam untuk kembali ‘kabur’ dari hidup kita yang melelahkan. Atau sebenarnya, aku hanya ingin merasakan kembali sensasi menenggelamkan kaki di pasir-pasir pantai yang mungkin butirannya mengingat kenangan kita di sini.
Matahari bahkan belum menampakkan rupanya saat kamu berjalan perlahan ke arahku. Tidak adil bagiku yang sebenarnya ingin memiliki waktu ini untuk bernostalgia tentang kita, dan kau menginterupsi semuanya dengan membuyarkan bayanganku tentangmu. Mengantinya dengan pemandangan yang bahkan dalam mimpipun aku sebenarnya tidak boleh berharap.
“Ohayou...” ucapmu membuka pagimu dengan bahasa negeri matahari terbit.
“Ohayou,” jawabku sambil berharap memoriku mampu merekam setiap sinar pertama matahari pagi yang memantul di ujung-ujung rambut cepakmu itu.
“Di wajahku ada apanya sampe ngeliatnya nggak kedip?”
Harusnya aku salah tingkah. Tapi kedekatan kita yang kelewat akrab sudah membuat kata ‘salah tingkah’ seperti lelucon anak kecil yang sudah bukan masanya lagi. Dan harusnya aku tidak tersenyum. Karena sedetik berikutnya kamu akan menampakkan senyum tiga jari andalanmu yang cukup untuk membuatku luluh di tempat. Ini kesalahan pertamaku hari ini.
“Kayaknya, kamu gantengan dikit hari ini.”
“Huakakakaka... ini aja aku belum mandi. Kalau udah mandi, aku yakin sekarang kamu langsung nyari-nyari penghulu minta dinikahin... hahahaha”
Hatiku miris. Masih tetap menatap matamu. Tolong, jangan membaca pikiranku.
Aku tidak bisa memasang tawa, jadi aku hanya membuang muka dan menyembunyikan kegundahan hatiku dengan senyuman tipis.
“Males ah, kalau udah mandi, gantengnya luntur, balik deh ke muka mboseninmu lagi.”
Kamu kembali tertawa, kemudian menghampiriku dan ikut duduk di pasir putih dingin tepat di sebelahku.
“Kalau bosen kenapa masih betah ngajakin liburan bareng? Dadakan lagi.”
Biar aku yakin kalau kamu masih bersedia membagi satu waktumu denganku.
“Biar aku yakin kalau di dunia ini masih ada orang nganggur selain aku.”
Tawamu kembali pecah. Tapi kali ini kamu mencoba memasang muka sewot dan mengeluarkan HPmu dari saku. Untuk beberapa saat kamu sibuk menggeser layar smartphone sebelum akhirnya tersenyum dan langsung menyodorkan hpmu padaku. Tampak halaman email dengan sebuah satu notifikasi kotak masuk yang belum dibuka.
Nadine Hamid. Aku merapal nama itu dalam hati. Sang pengirim pesan. A gift. Itu judul yang terbaca. Aku tidak perlu bertanya siapa, aku sudah tahu atau, sebenarnya, tidak mau peduli. Aku hanya ingin segera melihat pesan itu dan menyelesaikan kekhawatiranku yang semakin menjadi.
“Buka aja. Kamu, aku kasih izin buat menjadi orang pertama yang buka email itu.”
Refleks tanganku terlampau cepat untuk sekedar memencet pesan itu dan mempertontonkan isinya sebelum aku benar-benar siap.
I hope you love it.
Satu kalimat sederhana yang cukup membuat aku menahan nafas tak mampu membuka satu lampiran yang tergantung di bawahnya.
Ingatanku cukup jelas. Gadis itu juga ada disana. Saat pertama kali kita berbagi tiupan lilin ulang tahun bersama. Orang yang kamu kenalkan sebagai tetangga masa kecil. Aku masih ingat bagaimana kalian tertawa bersama, bercanda bersama dan mendebatkan hal-hal kecil bersama. Saat itu aku merasa ingin sekali memiliki kedekatan seperti itu dengan seseorang. Tapi aku keliru. Harusnya aku memilih orang lain sebagai teman berbagi hal-hal seperti itu, dan bukannya memilihmu.
Dan sekarang rasa iri itu berganti dengan cemburu. Aku memang tidak seharusnya merasakan perasaan ini. Lumrah saja seharusnya bagi kalian untuk dekat mengingat kalian lebih dahulu saling mengenal. Siapa aku yang tiba-tiba datang di antara kalian dan minta perhatian?
Masalahnya aku merasa kehilangan perhatianmu belakangan ini. Kamu selalu sibuk dengan smartphone mu dan tertawa sendiri pada topik yang tidak pernah aku tahu. Pernah aku tidak sengaja melihat notifikasi yang masuk di hpmu. Nama Nadine yang muncul. Dan kamu tersenyum saat menerima pesan singkat darinya.
Aku tidak tau kalau cemburu itu begini menyebalkannya. Padahal itu hal sepele, mengapa aku harus iri? Aku tidak mengerti bagaimana sebenarnya proses cemburu itu terbentuk. Makanya aku hanya diam, mencoba memahami bagaimana dan mengapa cemburu ini menjadi. Tapi hasilnya, dadaku sesak, ulu hatiku perih. Aku tidak lagi mencoba diam.
Kalian muncul dalam mimpiku tadi malam. Makanya saat terbagun, tanpa pikir panjang, aku mengambil travelpack ku dan langsung menuju koshmu. Entah kenapa, aku merasa aku benar-benar tidak ingin kehilangmu sekarang. Walaupun jika nantinya kita tidak bersama seperti yang aku ingini, setidaknya aku akan membuat banyak kenangan yang tidak bisa kamu abaikan begitu saja. Mungkin itu salah satu jalan untuk membuatku selalu ada dalam memori otakmu, jika tidak bisa dalam memori hatimu.
Sekarang kamu sudah duduk di sampingku. Menatap matahari terbit di pantai pasir putih yang indah. Dan aku di sini masih merasa sendiri. Seharusnya kita berlarian di tengah ombak seperti turis yang lainnya. Tapi aku malah terjebak di tempat ini, sambil membuka ‘pesan hadiah’ dari tetangga masa kecilmu.
Aku tidak ingin menebak apa yang ada dalam pikiranmu. Aku tidak mau menyangkal apapun yang terjadi sampai saat ini. Makanya aku mengabaikan wajah tersenyum tanpa dosamu dan menguatkan diri untuk men-download lampiran itu. Butuh lebih dari 10 menit untuk membuka file dalam drivebox nya, dan aku masih belum sepenuhnya yakin apakah aku akan menyukai gambar yang sebentar lagi akan aku lihat.
Itu sebuah video berdurasi 8 menitan.
Play...
Video itu menampakkan wajah Nadine, dengan latar tempat yang sangat aku kenal. Taman kota dekat koshanmu. Nadine tampak cantik dengan blus merah hati. Rambutnya digelung kecil dengan hiasan rambut sederhana untuk merapikan poninya. Aku sedikit menahan nafas. Siapa juga yang tidak mencemburui gadis secantik ini berkeliaran di dekatmu. Namun yang sebenarnya mengganggu pikiranku adalah perasaan dejavu saat melihat video ini.
“Cut! Ulang ya, kamu banyak miss...”“Yaaa.... bagian yang mana sih...”
Kamu mulai menampakkan diri dengan masuk frame membawa script. Entah kamu sengaja tidak mematikan rekaman atau kamu hanya lupa karena terlalu bersemangat mengomentari kekurangan-kekurangan Nadine dalam pengambilan video barusan.
Oh. Aku sepertinya tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
DOORRR....DOOORRR...DOOORRR...
Tiba-tiba layar dipenuhi converty yang berjatuhan entah darimana. Aku tidak perlu melihat video itu dengan seksama untuk mengetahui siapa-siapa yang tiba-tiba muncul di tengah-tengah kalian berdua. Itu Aku, Mike, dan Dafa yang sengaja ingin membuat kejutan ulang tahunmu bulan Agustus tahun kemarin. Atau lebih tepatnya ulang tahun kita berdua.
Tiba-tiba layar dipenuhi converty yang berjatuhan entah darimana. Aku tidak perlu melihat video itu dengan seksama untuk mengetahui siapa-siapa yang tiba-tiba muncul di tengah-tengah kalian berdua. Itu Aku, Mike, dan Dafa yang sengaja ingin membuat kejutan ulang tahunmu bulan Agustus tahun kemarin. Atau lebih tepatnya ulang tahun kita berdua.
Lagu selamat ulang tahun dinyanyikan keras-keras tanpa peduli wajah kalian yang melongo atau suara sumbang kami yang mungkin sudah melukai gendang telinga siapapun yang mendengarnya. Aku kembali teringat momen itu. Momen dimana kami bertiga sengaja menyiapkan kejutan spesial dadakan setelah mengetahui kita berbagi hari ulang tahun yang sama. Walaupun mendadak, aku masih mengingat dengan jelas aku yang memilih kue dan hadiah untukmu dengan sangat hati-hati. Aku ingin momen itu menjadi spesial. Karena ada satu waktu lagi yang kita bagi bersama. Hanya untuk kita berdua.
“Kata siapa sekarang aku ulang tahun?”
Ya, pernyataan menyebalkanmu yang satu ini juga tidak bisa aku lupakan. Kami tahu kamu orang yang tertutup. Makanya tidak ada satupun akun media sosialmu yang menampakkan hari lahirmu. Akhirnya, aku berinisiatif mengintip database perusahaan walaupun hanya dalam beberapa menit. Apapun alasanmu menyembunyikan hari ulang tahunmu, bagi kami merayakannya sama saja bersyukur Tuhan telah melahirkanmu untuk berada di tengah-tengah kami sekarang. Kenapa kamu harus tidak suka?
“Udah deh, nggak usah nyangkal. Sumber terpecaya. Sekarang make a wish. Tapi barengan, kan kalian ulang tahun bareng.”“Nggak-nggak, apaan. Kayak anak kecil aja pake tiup lilin segala.”
Yeah, sampai sekarangpun aku masih merasa sebal saat mengingat ucapanmu itu.
“Kamu nggak suka kita ulang tahunnya barengan?”
Aku tau, ucapan ketusku itu menyinggungmu dengan sangat. Dalam video ini aku baru sadar wajahmu terlihat sangat terkejut saat itu. Tapi, aku juga mengingat apa yang selanjutnya terjadi. Kamu yang bergegas mengambil kue di tangan Mike kemudian membawanya di depanku dan berkata,
“Kalau niup lilinnya barengan, jangan salahin Tuhan kalau cuma ngabulin permintaan salah satu dari kita.”
Senyumku mengembang mendengar jawaban itu, bahkan sekarangpun masih. Aku masih belum mengerti mengapa kita harus menonton video kiriman Nadine ini sekarang, di momen yang seharusnya diisi dengan kenangan baru kita berdua. Tapi sepertinya aku tersihir, tak peduli, seperti memang ingin kembali mengulang momen itu, sekali lagi.
Jadi setelah kita meniup lilin bersama, perang kuepun tak terelakkan. Aku langsung tertawa ketika video itu mulai memperlihatkan Dafa yang kesusahan mengeluarkan krim yang terlanjur masuk ke lubang hidung, atau Mike yang menjadi sasaran lempar krim seolah dialah pemilik perayaan ini. Kami berdua saling mentertawai diri dalam video yang sudah tak bisa dikenali karena wajah yang penuh dengan krim. Momen yang sangat menyenangkan.
Kejadian berikutnya, sebenarnya terlalu memalukan kalau hanya untuk kita berdua saksikan. Saat Nadine, Dafa dan Mike sibuk kejar-kejaran, kita mulai saling mengejek wajah masing-masing sampai akhirnya kamu mengulurkan tangan dan berucap,
“Selamat Ulang Tahun...”
Aku tersenyum dan menyambut tanganmu dengan semangat.
“Selamat Ulang Tahun Juga. Jadi, tadi mohon apa sama Tuhan?”
Sampai sekarangpun aku tidak bisa melupakan senyumanmu pada hari itu. Sangat hangat, sampai-sampai aku lupa untuk melepaskan jabatan tangan kita. Dan yang pasti, aku tidak bisa melupakan jawaban yang kamu berikan saat itu.
“Aku berdo’a semoga Tuhan mengabulkan permohonan mulia temanku yang hari ini berulang tahun.”
Satu kalimat itu saja, dan aku yakin wajahku sudah memerah di balik krim itu, seperti wajahku yang sekarang memerah hanya karena melihat video ini.
Aku menoleh, penasaran dengan ekspresimu sekarang. Tapi kamu malah memasang wajah sok menyebalkan sambil memberi kode untuk tetap melihat video. Dasar! Nggak peka.
“Udah, ngaku aja, kamu senengkan ulang tahunnya barengan sama aku”
Kamu malah tertawa seolah perkataanku lucu, mengabaikan wajahku yang berubah kecut.
“Liat dulu sampe selesai, baru komentar.”
Orang ini, sumpah, benar-benar, menyebalkan!
Kali ini scene video telah berganti. Sepertinya Aku, Dafa dan Mike sudah pamit. Tinggal kau dan Nadine yang kini terlihat sibuk membersihkan peralatan shooting kalian. Aku merasa, aku tidak akan menyukai adegan-adegan setelah ini.
“Sejak kapan, salju turun di bulan Agustus?”
Ekspresimu dalam video itu tampak tenang. Walaupun tidak sepenuhnya memahami pertanyaan Nadine, tapi aku jelas melihat kamu tersenyum kecil. Hatiku teriris, benci karena tidak memahami topik pembicaraan kalian. Seolah menegaskan zona yang hanya kalian berdualah pemiliknya.
“Mereka udah repot-repot nyiapin kejutan. Aku nggak mungkin tega ngerusak acara.”
“Jadi, nggak papa nih, ulang tahunmu ganti bulan Agustus?”
Hah, apa? ganti? Jadi maksudnya..... Aku sudah tidak memperhatikan gambar dalam video. Terlalu terkejut sampai rasanya ingin kabur menenggelamkan diri di laut dan tak usah kembali. Tawamu sudah pecah, mungkin karena ekspresi mukaku terlalu aneh setelah menyadari kesalahan terbodohku selama ini adalah hal yang paling aku banggakan dari kita berdua. Ulang Tahunmu bukan 1 Agustus?
“Aku rasa summer lebih baik daripada winter, iya kan?”
Itu adalah kalimat terakhir yang bisa aku tangkap dari percakapanmu dengan Nadine dalam video itu. Selanjutnya fokusku tertuju pada puluhan kelebatan memori yang selama ini membangga-banggakan tanggal lahir kembar kita kapanpun aku berusaha merayu, atau mengancammu untuk menuruti segala permintaan konyolku.
Kakiku, refleks, mendorong diriku untuk berdiri. Mungkin sudah tidak kuat lagi menahan malu. Aku mencoba kabur, tapi tubuhku tertambat di tempat itu. Tidak tau apa baiknya yang harus aku lakukan sekarang. Kamu ikut berdiri. Ekspresimu menunjukkan keterkejutan walau tidak ketara. Mungkin bingung dengan reaksiku yang di luar dugaanmu. Aku juga tidak mengerti mengapa aku bereaksi kekanakan seperti ini.
“Maaf,”
Aku bahkan tidak berani menatap mu langsung saat mengatakan ini.
“Eh, nggak papa kok. Ehm, maksudku bukannya apa-apa, cuma lucu-lucuan aja, ini...”
“Iya, makanya aku minta maaf.” Kita berdua sempat terdiam. Sama-sama terkejut dengan nada bicaraku yang tiba-tiba meninggi.
Tiba-tiba saja kamu berbalik dan pergi. Aku tidak tau mengapa kamu malah berjalan menjauh dan semakin memperburuk suasana hatiku yang terkubur rasa bersalah. Mataku tak berani mengekor, sehingga yang kulakukan hanya memalingkan pandangan ke horizon di depanku.
Mungkin selama ini aku terlalu banyak menyusahkanmu. Kenapa juga tadi aku bersikap berlebihan? Harusnya aku juga ikut menertawai kebodohanku dan bukannya bersikap kaku. Kalau seperti ini, tidak ada gunanya aku meminta maaf. Dalam hatiku, masih terganjal perasaan bersalah yang bahkan lebih besar daripada sebelum aku berkata maaf.
Sebuah KTP tiba-tiba saja muncul di depanku. Naluriku langsung mencari tangan milik siapa yang menyodorkan kartu itu dan menemukanmu berdiri di sana sambil tersenyum simpul. Aku memahami matamu yang mengisyaratkan padaku untuk melihat kartu identitas itu. Walaupun tidak begitu mengerti, aku menerimanya dan membacanya sekilas.
KTP itu milikmu. Tertulis dengan jelas nama panjangmu yang pasaran. Di bawahnya aku melihat rentetan angka yang aku tahu menunjukkan tanggal lahirmu yang sebenarnya.
Deg! Aku sedikit terkejut. Tanggal yang tertulis di kartu itu sangat familiar. Bukan karena sama dengan tanggal ulang tahunku, tapi karena aku sadar, tanggal itu menunjukkan angka yang sama dengan hari ini.
“Sebenernya aku lumayan kaget pas tadi malam kamu tiba-tiba aja datang ke tempatku. Aku kira bakal ada kejutan lagi, tapi ya, nggak mungkin juga sih kamu tau, jadi...”
Kalau tidak dalam situasi sekarang, mungkin aku akan mengomentari kebiasaanmu yang sering tidak menyelesaikan ucapanmu dengan benar. Tapi kali ini, aku hanya bisa terdiam, memandangimu yang kini berbicara dengan malu-malu dibalik wajah yang memerah.
“Ehm, dan video itu. Aku sengaja jauh-jauh hari minta Nadine buat ngirim. Tapi kayaknya dia niat ngasihnya tadi malam, buat kado. Jadi mumpung pas, sekalian aja aku tunjukin ke kamu...”
Mata kita bertemu. Untuk beberapa detik, tak ada yang ingin meninggalkan pantulan diri dalam mata masing-masing. Sampai akhirnya kamu membuang muka dan berjalan lirih mendekati ombak.
“Dulu, pas aku ulang tahun, aku selalu ngelihat salju. Pernah, ulang tahunku dirayakan besar-besaran. Tapi sebagian besar undangan nggak datang karena badai salju. Makanya pas kemarin kalian ngasih pesta kejutan, walaupun tanggalnya salah, aku benar-benar berterima kasih.”
Kamu membalikkan badan. Menampakkan siluet diri dengan pendar kilauan laut yang berkelip-kelip. Tapi sebenarnya, yang membuatku tertegun kali ini malah senyummu yang, entah mengapa, bahkan terlihat lebih menyilaukan dari pantulan cahaya-cahaya itu.
“Mungkin lebih menyenangkan kalau kita berulang tahun di tanggal yang sama kan?”
Ingin rasanya aku berkata, ya! Tapi aku tau bukan itu yang aku atau kamu ingin dengar. Makanya aku memutuskan untuk berjalan mendekatimu. Berdiri tepat semeter di depanmu dan mengulurkan tangan.
“Nggak! Aku lebih suka kamu ulang tahun hari ini. Mungkin dengan gini, Tuhan bisa mengabulkan doa masing-masing dari kita. Jadi, Selamat Ulang Tahun, Nathan.”
Walaupun kamu tidak terlihat terlalu menyukai kalimat yang kuucapkan tadi, toh, tanganmu tetap menyambutku dan menggengamnya erat seolah mengisyaratkan salam perpisahan atas perayaan yang tidak akan lagi kita bagi berdua. Mungkin cara ini menurutmu pantas sebagai penutup acara buka rahasiamu hari ini. Tapi ini tidak layak disebut sebagai perayaan kalau dalam wajahmu tidak tersirat kebahagiaan, kan?
Aku tersenyum kecil. Meguatkan genggaman tangan kita kemudian menarikmu ke dalam ombak. Hari ini, aku memutuskan untuk mengisinya dengan tawa dan senyummu. Untuk itu, dengan sekuat tenaga aku berusaha mendorongmu jatuh pada hempasan laut, hanya untuk menyadarkanmu akan satu hal,
“Kamu harus ingat di sini nggak ada salju. Mau panas, hujan, teman-teman kamu nggak akan keberatan kok ngeluangin waktunya buat hari special kamu.”
Dan kamu menunjukkan senyum terbaikmu itu sekali lagi. Akupun juga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar