Senin, 01 Agustus 2016

Kisah Rindu

Menggigil sudah seluruh tubuhku. Tak bisa aku salahkan hujan yang tak kunjung berhenti. Tidak juga bunga Desember yang hampir kehilangan seluruh benang sarinya. Ini hanya masalah waktu. Dalam kamus Rindu, detik serasa tahunan. Aku sudah menunggu milyaran tahun. Dan orang yang aku tunggu belum juga datang.

Dalam kamus Rindu, kosakata kedua di halaman 11, berbunyi Kenangan. Jika saja ada tombol power, layar proyektor di depanku akan ku paksa padam. Sinematografi yang berkelebatan dalam otakku saat ini, bukan tidak diingini. Hanya saja, aku merasa terlalu lelah. Gaun merah yang aku kenahkan sudah setengah basah. Warnanya bahkan sudah memendar ke hidung hingga mata. Tapi aku tak bisa pergi. Entah aku sadar atau tidak, aku menginginkan ia hadir. Walau hanya dalam bentuk bayangan yang semakin jelas setelah film semakin lama berputar. 


Pernah mendengar kisah tentang Pelanduk? Pemilik rumah tengah hutan itu menjadi tokoh utama. Proyeksi hutan belantara hadir di antara langit-langit dan ruang kosong. Yang kuperhatikan hanya tangan yang menggenggamku erat. Seekor kelinci datang, wajahnya kalud, tergesah-gesah dan ketakutan. Aku tidak peduli. Yang aku tau hanya kaos polo dua warna beraroma musk yang mendekapku hangat. Persetan dengan suara ketukan pintu atau aungan singa. Yang aku ingin dengar hanya satu suara. Suara yang aku ingat tidak pernah menyentuh sopran. Suara yang aku ingat lebih banyak mengguman daripada mendongeng. Suara, yang aku takut, menjadi hal yang pertama aku lupakan darinya.

Ini bukan lagi soal dongeng pengantar tidur. Hujan di atas genteng yang membasahi kebun tidak terdengar merdu di telingaku. Tik tik tik. Bunyi itu lebih terdengar seperti bunyi jarum jam yang kebablasan berotasi. Harusnya, saat si panjang menyentu angka 12, proyeksi itu menjadi nyata. Namun tak ada tangan besar yang terlentang untuk menyambut pelukan. Tak ada aroma musk yang berkelebatan menegaskan latitut. Aku masih sendiri. Memakai gaun merah yang kini tidak hanya basah karena air hujan. Sambil merutut kosakata ketiga dalam kamus Rindu. Kosong.

Seandainya saja, aku bisa mengartikan Rindu. Maka aku akan menulis satu kalimat panjang nama penyakit kronis yang hanya memiliki satu obat di dunia. Tak bisa kalau bukan itu. Ini bukan pasar untuk tawar menawar. Paten! Sudah tak bisa diganggu gugat. Karena bahkan jika obat itupun akhirnya tidak pernah ditegak. Yang kosong, tidak akan pernah terisi. Lubang itu akan tetap mengangah. Membiarkan proyeksi kenangan memenuhinya. Waktu tak bisa diajak negosiasi, dia akan tetap terbuang. Seberharga apapun, tak kan bisa kau menumpuk waktu. 

Maka jika aku bahkan tak segan menghamburkan waktu hanya untuk memutar film lama dalam otakku, menunggu seharusnya bukan masalah. Berharganya waktu bukan hitungan. Tapi aku tak bisa. Rindu ini ibarat angin. Semakin sering ia menyusup, selaputnya akan mengembang menekan dada hingga sesak. Memaksa molekul lain bereaksi pada kelenjar mata hingga menghasilkan air yang kini membasahi hampir seluruh pipiku. Rindupun bisa menyiksa. Sebanyak kenangan yang mengisi kosong di setiap waktu yang terbuang.

Kini, samar dalam pandanganku yang kabur, aku menghitung setiap gurat yang dihasilkan senyumnya. Mempertegas setiap goresan tulang muka yang menampakkan potret yang ku Rindu. Aku ingin menghiraukan gambar yang muncul di setiap wajah-wajah hangat yang menggenggam gadisnya. Cemburu ini menjadikan Rindu ku makin menjadi. Aku tidak sanggup lebih banyak berharap. Karena setiap kata dalam kamus Rindu kini telah menjadi nyata di benakku. Hujan dan Bunga Desember berubah nama menjadi Rindu. Bahkan Gadis bergaun merah yang menunggu di depan pintu, telah menjelma menjadi Rindu. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar