Senin, 16 November 2015

Tempat Tinggal

Katakan padaku satu hal! Maukah kau menjamin aku akan bahagia jika memilihmu?

Pernah aku datang ke sebuah tempat. Asing. Tapi aku merasa pernah datang ke sana. Berkali-kali. Samar ingatanku merapal anak-anak tangga putih yang akan mengantarku pada pintu mahoni berdaun dua di ujungnya. Tidak perlu aku mengintip dari lubang kunci untuk tahu rumah macam apa yang ada di hadapanku itu. Wallpaper cream dengan sulur samar, lantai marmer yang entah warnanya putih atau abu-abu, rumah bergaya eropa modern minimalis dengan dua bangunan utama yang terpisah. Walaupun ingatanku tak menggambarkannya dengan jelas, aku tau satu hal. Aku tidak suka tempat itu. Aku tak pernah ingin kembali ke sana.

Sensasi itu aku ingat lagi saat melihat tatapanmu. Perasaan familiar sekaligus asing. Membuatku ragu untuk menyambut tangan yang kau ulurkan dengan senyum tipis. Di bawah lampu sorot 100 watt jalanan depan warung kopi tongkrongan kita, aku memutuskan satu hal. Aku tidak boleh melewati jalan itu. Jalan yang kau tawarkan tanpa banyak berfikir. Ungkapan kebaikan hati yang terlampau murah sampai rasanya tidak mungkin. Karena tanpa kau mengatakan apapun, aku sudah tau. Aku terlalu paham lorong-lorong dalam rumah itu. Terlalu hafal dengan hiasan dinding yang menghiasi tangga ke lantai berikutnya. Sesuatu yang bahkan tidak pernah kau tau. Jika aku memutuskan untuk kembali kesana. Mungkin tidak akan ada lagi kesempatan untukku melarikan diri.




Tapi aku selalu berjalan padamu. Ke arah pusat grafitasi di ujung warung kopi. Kita, hanya dijaraki meja kayu kecil yang selalu menjadi tempat wajibmu mengusir penat. Kau terus merancu, bercerita kejadian yang kau alami hari ini. Kau tak sadar jari tangan kirimu memilin rumbai taplak meja yang sudah kusut. Merecokiku yang seharusnya segera menggambar blue print sebelum visi bangunan dalam otakku runtuh terkikis ekspresi-ekspresi wajahmu. Tapi aku tidak keberatan. Ukuran elevasi dan jarak-jarak antara tiang pancang tak jadi soal. Aku ingin menikmati bagaimana kamu memiringkan kepala saat tersenyum. Atau mengedipkan mata dua kali saat pertanyaanmu tak ku jawab. Atau saat kau mulai menggembungkan pipimu karena bosan. 

Dan ketika kau berkata padaku untuk hidup dengan bahagia.

Itu, pertama kalinya aku tersipu dengan perkataan sederhana. Kau tidak sedang berjanji. Tidak seperti Bulan yang mengkhianatiku dengan menjatuhkan diri dan meninggalkan malam. Tidak juga seperti gunung yang malah menerorku dengan terus menjadi penguntit. Kau hanya duduk di depanku. Menutup mata, sambil memegang cangkir kopi yang masih mengepul. Berbagi aroma Arabika yang ditambah sedikit gula. Terasa seperti menawarkanku hangat selimut wol di tengah dinginnya musim hujan. Romantis kalau boleh dibilang. Tapi terlalu picisan. Sehingga membuatku malas untuk tak mengabadikan setiap gurat senyummu yang meninggalkan berbagai arti.

Kau mengingatkanku pada Gazebo kecil beratap bougenfil. Pajangan taman yang tidak melindungi dari panas atau hujan, tapi senantiasa dikunjungi karena menawarkan kenyamanan. Itulah yang membuatku terusik. Sosokmu terlalu absolut, terlalu masiv sehingga sulit untukku untuk mengabaikanmu. Rumah putih yang ingin ku hindari, malah kau buat seperti gerbang penyambutan meriah. Lengkap dengan konverti, balon warna warni dan kue raksasa.

Mungkin sebenarnya kau tau bagaimana aku terlalu mengenal bangunan itu. Mungkin sebenarnya kau mampu menerka ketakutanku untuk kembali ke sana. Makanya kau menempatkan diri di antara dua bangunan utama. Di tengah taman bougenfil tanpa atap yang memperlihatkan langit luar. Ilusi kebebasan dalam sangkar emas. Mungkin, dengan begitu kau berfikir untuk mengundangku masuk. Kembali pintu mahoni tua, menyusuri lorong berlantai marmer, dan menjebakku dalam tempat itu kembali. Berharap aku bahagia.

Maka katakanlah padaku, apa kau bisa bahagia bila aku memilihmu?

Karena aku telah berjanji di bawah lampu 100 watt. Telah membulatkan tekad saat melihat kau menyesap Arabika. Bahwa jika bahagia itu memang untukku, aku akan membuatmu berlari, sejauh-jauhnya dari rumah putih. Bahagiaku tak harus kembali kesana. Mari berkelana ke balik gunung dan mendirikan istana dengan taman bunga di bawah sinar bulan. Tempat yang akan aku bangun hanya untuk kita. Bukan sekedar ruang kosong di tengah rumah tua.

Karena itu kau. Atlet maraton yang rela turun ke jalanan sempit warung kopi. Terpaksa dengan sabar menunggu ke datanganku yang lambat. Kau tak berharap banyak pada jarum jam yang bergerak monoton. Tak juga curiga dengan lampu-lampu yang menyimpan rahasia. Kau hanya duduk di sana. Di tempat yang sama, selama puluhan purnama. Menantiku datang mencari bahagia. Dan aku menemukannya. Ditemani kopi Arabika dan rumbai taplak meja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar