Kamis, 27 Desember 2018

Selamat Tinggal

Suatu ketika, dalam sebuah perjalanan. aku melakukan perjanjian dengan Tuhan. Yang lebih seperti kompromi untuk takdir yang sudah jelas tertulis. Tapi seperti manusia lainnya, aku hanya ingin berdoa. Satu keinginan yang mungkin ingin aku ucap, kali itu saja.

Aku pernah tertohok, dengan sebuah kalimat sederhana dari fiksi lawas Paulo Coelho. Katanya, kebanyakan manusia melihat dunia dalam batas yang ingin mereka lihat, bukan apa yang sebenarnya terjadi. Benar juga. Aku  merasakan perasaan yang sama. Merasa lebih baik berpikir yang baik-baik, supaya terjadi yang baik-baik. Tapi aku lupa takdir itu ada. Aku lupa Tuhan punya rencana. Dan aku ingin nyangkalnya. Karena bagiku, itu rencana buruk.



Seperti itulah kesedihan ku saat itu. Dijejali takdir yang tidak aku ingini. Mimpi buruk yang merongrongku tiap malam, dihadirkan dengan nyata di depan mata. Kesal aku jadinya saat mimpi itu datang. Selama ini aku merasa kebal. Tak ada yang aku takuti dari bunga tidur, yang ketika bangun semua menghilang. Tapi malam itu aku tak bisa tidur. Tak mau aku melihat sosok burung hitam masuk tanpa permisi, menjelma menjadi raksasa, entah apa.

Niatku untuk lebih semangat mencari pengobatan adalah untuk membuatnya sembuh. Kuluangkan lebih banyak waktu mencari alternatif terbaik. Kurecoki kakak-kakakku untuk mau mengantarnya ke sana kemari. Kesibukan akademisku selama ini memang mengurangi waktuku bersama keluarga. Dan ketika aku merasa ini saatnya, aku ingin lebih peduli. Pada Ibuku dan Bapakku.

Tapi apa jadinya jika niat itu sebenarnya jalan lain yang sudah direncanakan Tuhan. Pantas aku merasa dituntun. Ketika bermaksud melewati jalan lain, jalan itu dibendung. Saat mencoba cara lain, tidak juga berhasil. Takdir yang seolah mendorong kami berjalan melewati lorong yang ujungnya sudah ditentukan. Melancarkan sebuah perjalanan, yang tak kusangka, aku sendiri yang mengantar Bapakku ke sana.

Jadi ketika aku harus kembali ke rumah sakit , aku hanya berharap ini yang terakhir. Kutemani Bapak terjaga malam itu. Tubuhku yang letih membuatku terantuk terus-terusan. Tak bisa aku berbaring di lantai seperti biasa. Aku tidur di kursi sambil membelai kaki Bapak, mencoba membuatnya lebih tenang menunggu pagi. Kami membayangi waktu seolah berharap matahari terbit lebih cepat. Dan ketika matahari sudah tinggi. Aku hanya sempat berpamitan pergi kerja. Kuucapkan doa semoga sembuh. Kucium tangannya dan melambai.

Hari itu, rasanya tidak ingin aku pergi bekerja. Hari itu saja, aku ingin membolos. Tapi tanggung jawab pada pekerjaan membuatku tetap pergi. Hingga sorenya, aku pulang dengan membawa es krim. Makanan yang dulu selalu aku tunggu dibawakan Bapakku. Makanan yang mungkin hanya bisa aku nikmati setahun sekali karena Bapak jarang pulang.

Tapi ketika tiba, rumahku sudah ramai. Mau tak mau aku sudah menebak skenario terburuk apa yang terjadi saat itu. Benar saja, aku yang baru turun dari motor dihamburi pelukan dari kakakku. Tidak perlu dijelaskan dengan rinci. Aku sudah paham. Bapakku telah tiada.



Apa yang paling dirindu?

“Yang aku rindu adalah saat dulu kecil, punggungku sering digosok-gosok supaya aku tertidur. Kadang, malam-malam setelah kelelahan bekerja, diam-diam kakiku dipijat. Aku masih ingat bagaimana tangannya yang kapalan menyentuh kakiku, membangunkanku dari tidur.”

Kakakku bercerita. Mengenang masa lalu yang tidak mungkin terulang lagi di masa depan. Dan diotakku, entah bagaimana semua itu masih bisa aku rasakan dengan jelas.

Aku masih bisa merasai tangan besar yang menggenggam tanganku lembut ketika menyebrang. Aku ingat letak kapalan yang menguning di telapak tangannya yang berwarna kontras dengan kulit gelapnya. Aku seolah masih bisa menghitung jumlah kumis dan janggut yang tumbuh jarang-jarang. Mengendus bau parfum yang bercampur minyak rambut. Ingat susunan giginya yang masih lengkap walau menguning karena kopi. Dan mulai merindukan caranya memanggil namaku. Tersenyum padaku.

Dari jutaan saat,  aku ingin mengulang waktu ketika aku sadar bahwa aku putrinya yang berharga. Dalam salah satu malam di bangsal rumah sakit, aku mendengarkannya bercerita. Saat itu mungkin aku sendiri tidak benar-benar memperhatikan ceritanya. Dari tempatku merebahkan diri aku bisa melihatnya duduk sambil menatap jauh. Mengoceh bagaimana pengalaman hidupnya selama ini. Hingga tiba pada sebuah cerita yang sangat aku kenal.

Untuk pertama kalinya aku bisa mendengar isi hatinya mengaku. Bagaimana ia merasa bangga pada putri kecilnya. Bagaimana ia bisa menyombongkan diri sebagai orang tua gadis itu. Walau tak tepat waktu, kali itu aku tulus bersyukur. Berterima kasih diberi kesempatan berbincang hangat bersama. Bertukar cerita. Sekedar menghabiskan malam, menunggu pulang. Meski aku tak pernah menyangka, malam itu, terakhir kali kami berbincang panjang.

Apa yang paling disesali?

Entahlah. Kadang aku menyesal tidak meluangkan lebih banyak waktu. Tapi kadang aku lebih menyesal karena tidak bersikap lebih manja. Ada perasaan yang aneh dalam diriku ketika berulang kali aku menanyakan perasaan itu. Kadang aku lega jika tidak ada yang benar-benar bisa disebut penyesalan. Kadang malah sedih karena tidak tahu apa yang harus aku sesali.

Tapi jika bisa aku memutar waktu, yang ingin ku lakukan adalah berterima kasih. Darinya aku belajar bahwa manusia tidak bisa menjadi sempurna. Darinya aku belajar bahwa berbuat baik tidak harus menunggu ketika bergelimang materi. Menjalani hidup itu harus kuat dan mandiri. Tak perlu ambisi menggebu yang membutakan. Hiduplah dengan apa adanya.

Kusadari Bapakku bukanlah sosok panutan terbaik. Meski begitu, tak tau kenapa aku hanya mengingat yang indah saja. Yang membahagiakan saja. Tak lagi aku bersedih membayangkan hari pernikahanku nanti tidak dihadiri Bapak. Tak lagi aku membenci bagaimana kami kan melanjutkan hidup tanpa Bapak. Mungkin karena itulah aku melakukan kompromi dengan Tuhan. Jika memang ini saatnya Bapakku pergi, aku ingin beliau pergi di hari yang baik, di saat yang paling baik untuknya. Karena aku tahu, Bapakku hanya orang baik.

Sekarang, mungkin aku hanya menjadi lebih tenang. Lebih legowo. Lebih bisa berpikir rasional. Atau aku hanya menghadapi kenyataan bahwa yang ditinggal mati harus tetap hidup. Sudah ikhlas seluruh keluargaku melepas kepergian Bapak. Masa berkabung sudah usai. Bapak tidak akan pernah kami lupakan. Sosoknya kelak akan tetap jadi perbincangan di dalam keluarga. Diturunkan ke cucu-cucunya. Kami akan melanjutkan hidup sebaik mungkin. Tidak banyak yang aku harapkan sekarang. Aku hanya ingin, kami sekeluarga kembali bertemu di Surga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar