Rabu, 03 Oktober 2012

Just Stay Here 1



ALL BEGIN  | 1
...Aku...seseorang yang ingin tersenyum di terik matahari pagi seperti yang lainya. Tertawa dan bahagia... kini entah kenapa impian kecil itu terasa terlalu sulit untuk terwujud. Apa yang ku pilih telah membawaku dalam sumur kemalanganku sendiri. Sekeras apapun aku berteriak... sebesar apapun aku berjuang...aku akan tetap terjebak di tempat ini entah sampai kapan...
Rian meninggal.” Dekkk...
Seluruh tubuhku tiba-tiba melemas. Sedetik yang lalu aku seakan berada dalam Dejavu yang sama sekali tidak ingin aku ulang. Hanya saja nama itu sekarang berbeda. Kali ini nama itu terdengar seperti milik seseorang yang kemarin menatapku dengan senyum dan kegugupan yang konyol. Sekali lagi, itu adalah nama orang yang menyatakan cintanya padaku. Ya, sekali lagi, kabar yang sama dengan alasan yang sama, dan penyebab yang sama, AKU!

Ini hanya kebetulan! Iya, ini hanya kebetulan, kan? Tentu saja. Mereka tidak mungkin meninggal karena aku. Tidak mungkin. Aku tidak melakukan apapun. Aku hanya berusaha menjawab dengan jujur. Aku tidak menyakiti mereka. Itu hanya penolakan biasa. Bukan berarti mereka meninggal setelah aku tolak, mereka nggak mungkin bunuh diri atau, yang lebih tidak mungkin, aku punya kekuatan gaib yang akan membunuh mereka setelah mereka aku tolak, semacam...
“Kutukan!” Dek!
Aku bisa melihatnya, seorang cewek yang berjalan ke arahku dengan angkuh. Dia juga sempat melirik Karish di sampingku, sambil tersenyum culas. Bukan yang pertama, puluhan anak lain sudah melakukan hal yang sama sebelumnya.
“Ih, serem banget ya lo. Masa cuma gara-gara lo tolak aja, mereka bisa mati.”
“Eh, Jaga ya omongan lo!”
“Ups, anjing herdernya ngamuk. Mending lo juga cepetan pergi deh. Kalo enggak, lo pasti kena jampinya dan jatuh cinta, terus ditolak dan ... mati.” Dek!
“Eh, sekali lagi lo ngomong ngaco, gue nggak segan-segan nyeret lo pergi dari sini.”
“Ouh, nggak usah repot kok. Gue juga gak bakalan betah lama-lama disini. Takut jampinya juga ampuh buat bunuh orang yang ‘benci’ dia. Bye, cewek kutukan...”
“Lo...”
“Rish, Stop.”
“Tapi dia...” Seketika Karish menghentikan ucapannya ketika melihatku menggenggam lengannya erat. Tapi aku baru sadar kalo Karish tidak berhenti karena genggamanku. Bukan hanya genggaman, tapi karena sekarang, hampir seluruh tubuhku mengejang dan bergetar hebat. Aku langsung melepaskan genggamanku dan mencoba menyembunyikan ketakutanku. Karish kini menatapku dalam, sampai aku hampir berfikir untuk menangis di depannya.
“Hei, lo nggak pa pa? Jangan fikirin ucapan dia. Dia cuma asal ngomong. Mana mungkin lo..”
Aku hampir tidak sadar saat tanganku refleks menepis tangan Karish yang akan menyentuh pundakku. Aku sendiri terkejut sampai ingin rasanya bersembunyi di tempat yang jauh. Tapi kedua lututku lemas, ngilu, hampir tidak mau digerakkan barang selangkah. Aku tidak bisa...
“Bener kata dia. Sebaiknya lo juga pergi.”
Hanya itu kata-kata yang bisa keluar dari mulut bodohku. Karish terlihat terkejut dengan pernyataanku barusan, tapi dia berusaha tenang dengan tersenyum kecil kearahku.
“Mana mungkin gue bisa ninggalin lo kalo lo sendiri masih kayak gini.”
Aku sudah kehabisan akal untuk menyuruh Karish pergi. Tidak ada sepatah katapun yang bisa keluar lagi dari mulutku. Aku hanya bisa menatap Karish berusaha membuatnya mengerti kalau aku hanya tidak bisa menerima keberadaan orang lain sekarang. Dan saat aku melihat senyumnya pudar, aku tau dia mengerti.
“Oke... mungkin lo emang butuh sendiri, ah salah, sebenarnya lo butuh temen, kalo boleh gue saranin, tapi... ya.. gue pergi. Dan inget, nggak usah fikirin kata-kata cewek itu!”
Dan dia pun berlalu...
Aku hanya bisa menggigit bibirku getir. Tatapanku bahkan masih belum beranjak dari punggungnya yang semakin menjauh. Mungkin... sebentar lagi semua orang akan bersikap sama. Perlahan mereka akan menjauh, memberi jarak dari cewek kutukan sepertiku. Ah apaan sih. Masa aku percaya sama begituan. Kutukan itu nggak mungkin ada. Enggak ada, iya kan ?
Entah kenapa rasanya dadaku malah terasa sakit saat memikirkan itu semua. Aku menarik nafas panjang berusaha mengumpulkan sisa tenagaku untuk sekedar berjalan ke bangku di bawah pohon tak jauh dari lapangan basket. Tidak terlalu mudah dengan tambahan tatapan sinis dari orang sekitar yang seolah membenarkan ucapan cewek tadi. Oh Tuhan kenapa semuanya bisa terjadi. Mereka pergi terlalu cepat saat aku baru mensyukuri ada orang yang mau meluangkan hatinya untukku. Mereka pergi... semuanya... seakan-akan memang tidak boleh ada orang yang mencintaiku.
“Lo tau semua itu nggak bener” Dekk.... suara itu...
“Satria...” Dia berada tepat di belakangku. Tersenyum hangat seolah berusaha membuatku lebih tenang.
“Jaman sekarang, kalo masih percaya gituan, itu sama aja percaya gerhana itu ada karena dimakan raksasa, lho...” ujarnya lembut sambil mengacak-acak rambutku. Aku sempat tersenyum, tapi langsung hilang karena tau yang kualami ini bukan sekedar dongeng.
“Ya...lo bener. Tapi kali ini Rian juga. Jujur aja, gue takut kalo kutukan itu beneran ada. Gue takut kalo kematian mereka itu memang karena gue.” Satria tidak berkata apapun. Dia menatapku semakin dalam sampai rasanya aku hampir berfikir kalo dia juga berfikir aku memang dikutuk.
“Lo... GR banget ya?”
“Apa ?”
Satria tiba-tiba tertawa kecil dan langsung duduk di sebelahku.
“Secara nggak langsung lo itu ngerasa kalo mereka yang nembak lo itu juga rela mati buat jadi pacar lo. Lo lupa kalau takdir itu ada. Lo itu... cuma kurang beruntung berada disaat yang nggak tepat.” Entah kenapa ucapan Satria tadi seolah seketika mengembalikanku pada kenyataan. Satria benar, dan memang selalu begitu. Kemudian dia kembali menatapku sambil tersenyum lembut.
“Dan lagi... mana mungkin Tuhan ngutuk malaikatnya, iya kan?” Dekk...
“Hah ? Apa ?”
Satria malah semakin memperlebar senyum dan sama sekali tidak berniat mengulangi ucapannya tadi. Saking jengkelnya aku sampai ingin mencubitnya sampai dia mau ngomong. Tanpa sadar ini terjadi lagi. Kehangatan yang terpancar dari senyumnya seolah menular, mengajakku melupakan semua dan terbuai dengan suasana yang ia ciptakan. Selalu seperti ini. Saat Bapak dan Ibu ku meninggal, dia juga satu-satunya yang bisa membuatku menatap hidupku di depan. Kalo udah seperti ini... siapa malaikatnya ?
“Sejak kapan Tokek warnanya putih abu-abu ?”
Perhatian kami langsung teralih pada seorang cewek cantik berambut panjang yang tiba-tiba datang dan kini menatap aneh sesuatu di balik pohon. Namanya Wanda. Dia juga salah satu sahabat baikku. Satria tiba-tiba berdehem keras seolah tau apa maksud Wanda. Dengan bingung aku hanya menatap mereka bergantian, mencoba mencari petunjuk, sampai Karish muncul dari balik batang pohon.
“Kalo gue foto lo dengan pose kayak tadi. Gue yakin fans-fans lo bakal rela bayar 50rb perlembar...” Satria mengedipkan mata jail ke arah Karish “Gue bisa lebih kaya dari lo.” Dengan sadisnya, Karish langsung njitak kepala Satria kurang dari sedetik sebelum Satria tutup mulut.
“Kalo lo berani, gue bakal lelang foto lo yang ganti baju di ruang olaraga. Pasti gue lebih kaya, ngeliat fans lo yang lebih bringasan.” Tawa langsung meledak dari kami berempat, teringat insiden bodoh foto Satria itu sudah memporak-porandakan cewek satu sekolah. Aku berusaha menahan tawa ku sampai rasanya airmataku keluar lebih dari yang seharusnya. Tanpa sadar, aku sudah terlihat seperti menangis deras sambil ketawa nggak jelas. Sahabat-sahabatku perlahan menghentikan tawanya dan menggantinya dengan senyum hangat. Wanda memelukku perlahan kemudian mengusap airmataku.
“Well, lo udah ngerasa baikan kan ?” Aku hanya bisa mengangguk kuat sambil tersenyum lebar.
“Thank’s ya, Guys. Gue nggak tau musti ngomong apalagi.”
Mereka semakin memperlebar senyum seolah menegaskan kalau itu cukup.
“Gue... ambil tas lo dulu. Setelah itu baru lo gue anter pulang.” Aku langsung menggeleng ke arah Satria yang sudah berancang-ancang pergi.
“Nggak usah! Gue nggak pa pa kok. Lagian inikan belum waktunya pulang.”
“Tapi lo butuh istirahat. Tenang aja, nanti soal izin biar kita yang urus, iya kan, Wan?” Wanda juga mengangguk mantap seolah itu hal yang mudah.
“Tenang aja. Lo bisa manfaatin kekuasaan putra-putri Dewan Agung ini sampe lo puas kok.” Aku hanya bisa tersenyum geli mendengar jawaban Wanda itu, sambil menatap mereka bertiga bergantian. Dan dengan cepat  Wanda dan Satria melangkah pergi.
Aku menghela nafas, lega. Tidak menyangka semua terasa lebih mudah sekarang. Ini karena ada mereka disekelilingku. Dan pastinya, karena Satria...
“Nggak salah kan kalo gue bawa Satria ke sini ?” Dek! Seketika aku langsung menatap Karish, sedikit terkejut dengan pernyataannya barusan.
“Kaget juga sih kalo ternyata pengaruh Satria sebesar itu ke lo. Tapi dari awal, semua juga udah tau, kalo lo suka Satria.”
Aku hanya bisa membisu mendengar pernyataan terang-terangan dari Karish. Tak ada bantahan sedikitpun karena itu memang benar. Aku memang menyukai Satria. Hanya kagum mungkin. Mengingat dia satu-satunya yang selalu mendukungku saat hidup seolah berkhianat. Tapi belakangan aku sadar rasa itu lebih dari suka yang ku tau. Perasaan ini sudah jauh berubah.
“Kenapa lo nggak nembak dia aja ?” Dek!
“Apa ? lo gila. Nggak mungkin lah.”
“Kenapa? karena lo cewek ? Udah nggak jamannya kali gengsi-gengsi an. Atau... karena sebenernya lo takut kalo ‘kutukan’ itu bukan hanya berlaku buat cowok yang lo tolak, iya ?”
Tenggorokanku langsung tercekat, tak bisa berkata apapun menanggapi pernyataan Karish yang seolah bisa mengorek semua fikiranku. Dan dia hanya menghela nafas pendek kemudian tertawa kecil.
“Wah wah wah wah... cinta segitiga ini rumit juga ya”
“Cinta segitiga ? satu nya siapa ? Wanda ?”
“Hah? Maksud lo Wanda naksir Satria? nggak mungkin! Dia punya pangerannya sendiri. Lakon satunya, gue lah... masa lo nggak sadar sih ?” Aku malah lebih terkejut lagi sekarang, sampai tak sadar kalo aku masih berpose melongo begok depan Karish. Senyum Karish langsung tersungging tipis, khas miliknya, kemudian mendekat seolah akan mengatakan sesuatu yang penting.
“Lo nggak sadar ya... dari dulu gue kan.... pasangan homonya Satria!” Diieengg..
“Nggak Mungkin Lah Saraaaappp...!” TAKK!
“ADDOOOUUUU....” Karish langsung berteriak kesakitan jingkat-jingkat setelah menerima jitakan maut dariku. “Gila lo, sakit beneran tau. Gue nggak bohong, gua ama Satria emang udah bosen sama cewek yang cuma bisa teriak-teriak kalo ngeliat gue nge-band ato pas Satria basket. Apalagi cewek macam lo, yang rela masuk ekstra cuma buat kecengan.”
“Apa lo bilang ? masih kurang juga jitakan gue ? iya ?”
“Iiiaaa.... ampun ampun, iya iya gue salah.” Mataku menyipit mencoba mencari-cari kebohongan di wajah anak nyebelin ini. Tapi yang kulihat malah perubahan raut wajahnya yang entah kenapa kini terlihat sendu.
“Gimana... kalo gue bantu buktiin, kalo kutukan lo itu emang nggak ada.” Dekk...!
***
Tubuhku limbun, jatuh terduduk diatas gundukan tanah penuh taburan bunga di depanku. Orang-orang disekitar lansung menghujamiku dengan tatapan benci sekaligus mendorong tubuh mereka menjauh. Tak perlu repot-repot memikirkan sikap mereka itu, hatiku sendiri sudah hancur setelah mendengar sahabatku, Karish, meninggal.
Mataku terpaku menatap makam itu dengan batin remuk. Kusentuh tanah diatasnya berharap itu hanya bayangan tak nyata, mimpi yang sebentar lagi berakhir. Tapi tanah basah itu nyata, bunga tabur itu nyata, semuanya nyata, dan sahabatku benar-benar pergi...
Setetes airmata jatuh, diikuti tetes-tetes berikutnya yang tidak dapat aku hentikan. Semua ini salahku. Aku yang buat Karish meninggal. Kutukan itu ada. Dan kali ini, dengan teganya, aku ngasih kutukan itu ke dia. Aku tidak bisa menghentikan rasa sakit yang kini menjalar keseluruh tubuhku yang bergetar. Rasa bersalah dan penyesalan memenuhi dada hingga terasa menyesakkan. Aku tidak menginginkan semua ini, bukan begini, kenapa ini yang harus terjadi.
PLAAKKK...
Aku bisa merasakan darah di pipiku mendidih. Dalam kabut mata, samar-samar aku melihat sosok Ibu Karish yang kini menatapku dengan tatapan kebencian. Aku tidak bisa mengatakan apapun. Tenggorokanku tercekat, tak bisa bersuara. Yang kulakukan hanya menatap mata orang yang sudah kusakiti ini, berharap ia tau penyesalanku.
“Saya... selalu menganggap kamu sebagai bagian dari keluarga karena kamu teman baik Karish. TAPI APA? Ini balasan kamu setelah kebaikan yang kamu terima dari anak saya. Dia tidak pantas bernasib seperti ini. Dia tidak pantas mendapat ini semua hanya karena dia menyukai kamu!”
Rasanya baru saja sebuah pisau tajam melesat, tepat, menikam jantungku. Kenyataan yang aku dengar tadi sekali lagi menegaskan apa yang terjadi. Tak ada yang bisa aku lakukan. Tak sepatahpun kata pembelaan yang bisa keluar dari mulutku. Tidak! Bahkan kata maaf pun tak akan pantas untuk seorang pembunuh sepertiku. Dalam penyesalan, aku hanya bisa melihat Ibu Karish berjalan pergi meninggalkanku dengan luka mengangah yang mungkin tak akan bisa sembuh, selamanya.
Di sisi lain, aku hampir tidak menyadari sepasang mata menatapku dengan tatapan yang tidak bisa aku artikan. Seseorang yang sekelebat tertangkap oleh sudut mataku saat ia berjalan menjauh. Aku berbalik, mencari seseorang itu. Dia...DEKK...
Aku hanya dapat menelan ludah, getir, saat menyadari sesuatu. Terlalu takut, hingga membuat hampir seluruh tubuhku mengejang. Punggung yang menjauh itu milik seseorang yang sangat aku kenal. Satu-satu nya orang yang ingin aku tutup mata dan telinganya agar tidak mengetahui ini semua...orang yang ingin aku sembunyikan dari fakta yang menyakitkan hati...orang yang paling aku harapkan tidak akan membenciku setelah ini...
“Satria....”
Aku berteriak. Namun hanya seperti pekikan bisu yang hanya aku sendiri yang bisa mendengar. Satria tetap berjalan menjauh. Tak sedikitpun berbalik, bahkan menoleh. Refleks, aku berlari dan menarik tangannya, walau kenyataannya aku hanya bisa menyentuh lengannya tanpa sanggup berbuat apapun.
Satria terhenti. Namun ia bergeming. Aku mencoba menata hatiku. Berharap tak sedikitpun ada perasaan benci yang tersorot dalam matanya. Namun harapanku langsung pupus saat melihat mata sembab yang sedari tadi dipalingkannya dariku kini menatapku tajam. Cukup dengan tatapan itu seharusnya aku tau apa yang Satria fikirkan. Tapi aku berusaha menutup mata seolah semuanya masih baik-baik saja.
“Apa lo juga benci gue ?”
Pertanyaan yang ku lontarkan dengan bibir setengah bergetar tadi, di jawab Satria dengan tatapan perih yang seolah menembus ulu hati. Aku tidak bisa melihat sedikitpun mata yang selalu menatapku dengan hangat dulu. Tak ada senyuman seindah malaikat yang tersungging dari bibirnya. Yang terlihat hanya kemarahan dan kecewa… takut dan kesedihan…
“Mulai sekarang, lo harus jalan sendiri. Gue udah nggak bisa jadi pendukung orang yang bahkan nggak mau ngorbanin gengsinya buat nyelametin nyawa sahabatnya sendiri.” Dekk… Kata-kata Satria itu seketika membuat seluruh tubuhku melemas. Satria benar, aku cuma cewek egois yang nggak mau ngorbanin sedikit harapannya. Tapi membiarkaku berjalan sendiri? Apa itu artinya, sekarang dia mau ninggalin aku. Ah maksudku, benar-benar menjauh, pergi... Tapi itu...
“Itu nggak mungkin! Nggak! Gue udah kehilangan Karish, gue nggak bisa kehilangan lo juga.”
“Maaf, tapi gue juga nggak bisa. Gue mohon, jangan pernah ganggu gue lagi setelah ini. Permisi...” Dengan susah payah aku berusaha mempertahankan lengan yang hampir melenggang pergi. Getaran tubuhku semakin hebat, tangan ku sudah memutih, menggigil sedingin es. Mataku berkabut penuh airmata hingga yang kulihat hanya bayangan punggung Satria yang hampir pergi. Kupegang erat-erat tangan yang ku raih, walau sebenarnya tenagaku hanya kuat untuk menyentuhnya. Aku takut, jika aku melepaskan tangan ini, selamanya aku tidak akan bisa meraihnya. Aku akan kehilangan seseorang yang sangat penting. Tidak, aku tidak bisa, aku tidak mau kehilangan Satria.
Dengan sekali hentakan keras, tanganku terlepas, sampai membuat tubuhku terhuyun limbun, hampir terjatuh. Wanda muncul, entah darimana, segera menopangku agar tetap berdiri. Dari sisa-sisa kesadaran yang ku punya, aku melihat Satria pergi. Benar-benar pergi. Tidak ada kata yang bisa keluar. Aku hanya bisa merasakan sakit dari sisa-sisa kepingan hatiku yang mulai hancur. Wanda mengusap kepalaku sambil menangis, tangannya juga mendingin. Tapi dia berusaha menatapku dengan tegar.
“Maafin Satria, dia nggak bermaksud kayak gini. Gue juga harus ikut Satria pergi. Dia pasti marah besar kalo tau gue sama lo. Ini cuma sementara, oke. Apapun yang terjadi, gue nggak peduli. Kita masih tetep sahabatan. Suatu saat nanti, gue janji. Kita pasti akan kembali seperti dulu...”
Aku membenamkan diri dipelukan Wanda sambil menangis keras. Semua sudah berakhir. Persahabatan ini berakhir. Aku tau setelah hari ini, mungkin aku hanya akan melihat mereka dari jauh. Mungkin sesekali Wanda masih akan mengunjungiku tanpa sepengatahuan Satria. Tapi semua sudah berubah. Semuanya telah pergi. Dan yang bisa kulakukan hanya berdoa. Mulai berharap dengan harapan yang muncul karena hari ini. Semoga kami akan bersama-sama lagi, berjalan dan tertawa. Tak perlu rasa ini terbalas. Cukup persahabatan kami kembali. Itu sudah cukup.
***

11 komentar:

  1. menarik banget!!
    aku tungguin chapter selanjutnya ya bo! :)

    well, aku suka banget bagian ini "Aku takut, jika aku melepaskan tangan ini, selamanya aku tidak akan bisa meraihnya. Aku akan kehilangan seseorang yang sangat penting. Tidak, aku tidak bisa, aku tidak mau kehilangan Satria."

    keep writing!! :*

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih yaa....
      maaf baru bales komennya

      tetep jadi pembaca setia ya :*

      Hapus
  2. Balasan
    1. wah mas nya juga baca..
      makasih ya mas :)

      seep...
      maaf agak telat post part 2 nya
      in progress
      tetep setia baca ya...
      haha...

      Hapus
  3. waduh, ini mah master namanya. :D, ditunggu kelanjutannya. feelnya dapet banget nih

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih papa
      kita sama-sama belajar

      iya >.<
      tungguin kelanjutannya yaa...

      Hapus
  4. Balasan
    1. makasih...
      datang di part selanjutnya yaa...

      Hapus
  5. kereenn :')
    ditunggu part selanjutnya :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih kakak...
      sip!
      nanti special tag deh buat kakak cantik :*

      Hapus