ALL BEGIN | 1
...Aku...seseorang yang ingin
tersenyum di terik matahari pagi seperti yang lainya. Tertawa dan bahagia...
kini entah kenapa impian kecil itu terasa terlalu sulit untuk terwujud. Apa yang
ku pilih telah membawaku dalam sumur kemalanganku sendiri. Sekeras apapun aku
berteriak... sebesar apapun aku berjuang...aku akan tetap terjebak di tempat
ini entah sampai kapan...
“Rian meninggal.” Dekkk...
Seluruh tubuhku
tiba-tiba melemas. Sedetik yang lalu aku seakan berada dalam Dejavu yang sama sekali tidak ingin aku
ulang. Hanya saja nama itu sekarang berbeda. Kali ini nama itu terdengar
seperti milik seseorang yang kemarin menatapku dengan senyum dan kegugupan yang
konyol. Sekali lagi, itu adalah nama orang yang menyatakan cintanya padaku. Ya,
sekali lagi, kabar yang sama dengan alasan yang sama, dan penyebab yang sama,
AKU!
Ini hanya
kebetulan! Iya, ini hanya kebetulan, kan? Tentu saja. Mereka tidak mungkin
meninggal karena aku. Tidak mungkin. Aku tidak melakukan apapun. Aku hanya
berusaha menjawab dengan jujur. Aku tidak menyakiti mereka. Itu hanya penolakan
biasa. Bukan berarti mereka meninggal setelah aku tolak, mereka nggak mungkin
bunuh diri atau, yang lebih tidak mungkin, aku punya kekuatan gaib yang akan
membunuh mereka setelah mereka aku tolak, semacam...
“Kutukan!” Dek!
Aku bisa
melihatnya, seorang cewek yang berjalan ke arahku dengan angkuh. Dia juga
sempat melirik Karish di sampingku, sambil tersenyum culas. Bukan yang pertama,
puluhan anak lain sudah melakukan hal yang sama sebelumnya.
“Ih, serem banget
ya lo. Masa cuma gara-gara lo tolak aja, mereka bisa mati.”
“Eh, Jaga ya
omongan lo!”
“Ups, anjing
herdernya ngamuk. Mending lo juga cepetan pergi deh. Kalo enggak, lo pasti kena
jampinya dan jatuh cinta, terus ditolak dan ... mati.” Dek!
“Eh, sekali lagi lo
ngomong ngaco, gue nggak segan-segan nyeret lo pergi dari sini.”
“Ouh, nggak usah
repot kok. Gue juga gak bakalan betah lama-lama disini. Takut jampinya juga
ampuh buat bunuh orang yang ‘benci’ dia. Bye, cewek kutukan...”
“Lo...”
“Rish, Stop.”
“Tapi dia...”
Seketika Karish menghentikan ucapannya ketika melihatku menggenggam lengannya
erat. Tapi aku baru sadar kalo Karish tidak berhenti karena genggamanku. Bukan
hanya genggaman, tapi karena sekarang, hampir seluruh tubuhku mengejang dan bergetar
hebat. Aku langsung melepaskan genggamanku dan mencoba menyembunyikan
ketakutanku. Karish kini menatapku dalam, sampai aku hampir berfikir untuk
menangis di depannya.
“Hei, lo nggak pa
pa? Jangan fikirin ucapan dia. Dia cuma asal ngomong. Mana mungkin lo..”
Aku hampir tidak
sadar saat tanganku refleks menepis tangan Karish yang akan menyentuh pundakku.
Aku sendiri terkejut sampai ingin rasanya bersembunyi di tempat yang jauh. Tapi
kedua lututku lemas, ngilu, hampir tidak mau digerakkan barang selangkah. Aku
tidak bisa...
“Bener kata dia.
Sebaiknya lo juga pergi.”
Hanya itu kata-kata
yang bisa keluar dari mulut bodohku. Karish terlihat terkejut dengan
pernyataanku barusan, tapi dia berusaha tenang dengan tersenyum kecil kearahku.
“Mana mungkin gue
bisa ninggalin lo kalo lo sendiri masih kayak gini.”
Aku sudah kehabisan
akal untuk menyuruh Karish pergi. Tidak ada sepatah katapun yang bisa keluar
lagi dari mulutku. Aku hanya bisa menatap Karish berusaha membuatnya mengerti
kalau aku hanya tidak bisa menerima keberadaan orang lain sekarang. Dan saat
aku melihat senyumnya pudar, aku tau dia mengerti.
“Oke... mungkin lo
emang butuh sendiri, ah salah, sebenarnya lo butuh temen, kalo boleh gue
saranin, tapi... ya.. gue pergi. Dan inget, nggak usah fikirin kata-kata cewek
itu!”
Dan dia pun
berlalu...
Aku hanya bisa
menggigit bibirku getir. Tatapanku bahkan masih belum beranjak dari punggungnya
yang semakin menjauh. Mungkin... sebentar lagi semua orang akan bersikap sama.
Perlahan mereka akan menjauh, memberi jarak dari cewek kutukan sepertiku. Ah
apaan sih. Masa aku percaya sama begituan. Kutukan itu nggak mungkin ada.
Enggak ada, iya kan ?
Entah kenapa
rasanya dadaku malah terasa sakit saat memikirkan itu semua. Aku menarik nafas
panjang berusaha mengumpulkan sisa tenagaku untuk sekedar berjalan ke bangku di
bawah pohon tak jauh dari lapangan basket. Tidak terlalu mudah dengan tambahan
tatapan sinis dari orang sekitar yang seolah membenarkan ucapan cewek tadi. Oh
Tuhan kenapa semuanya bisa terjadi. Mereka pergi terlalu cepat saat aku baru
mensyukuri ada orang yang mau meluangkan hatinya untukku. Mereka pergi...
semuanya... seakan-akan memang tidak boleh ada orang yang mencintaiku.
“Lo tau semua itu
nggak bener” Dekk.... suara itu...
“Satria...” Dia
berada tepat di belakangku. Tersenyum hangat seolah berusaha membuatku lebih
tenang.
“Jaman sekarang,
kalo masih percaya gituan, itu sama aja percaya gerhana itu ada karena dimakan
raksasa, lho...” ujarnya lembut sambil mengacak-acak rambutku. Aku sempat
tersenyum, tapi langsung hilang karena tau yang kualami ini bukan sekedar
dongeng.
“Ya...lo bener.
Tapi kali ini Rian juga. Jujur aja, gue takut kalo kutukan itu beneran ada. Gue
takut kalo kematian mereka itu memang karena gue.” Satria tidak berkata apapun.
Dia menatapku semakin dalam sampai rasanya aku hampir berfikir kalo dia juga
berfikir aku memang dikutuk.
“Lo... GR banget
ya?”
“Apa ?”
Satria tiba-tiba
tertawa kecil dan langsung duduk di sebelahku.
“Secara nggak
langsung lo itu ngerasa kalo mereka yang nembak lo itu juga rela mati buat jadi
pacar lo. Lo lupa kalau takdir itu ada. Lo itu... cuma kurang beruntung berada
disaat yang nggak tepat.” Entah kenapa ucapan Satria tadi seolah seketika mengembalikanku
pada kenyataan. Satria benar, dan memang selalu begitu. Kemudian dia kembali
menatapku sambil tersenyum lembut.
“Dan lagi... mana
mungkin Tuhan ngutuk malaikatnya, iya kan?” Dekk...
“Hah ? Apa ?”
Satria malah
semakin memperlebar senyum dan sama sekali tidak berniat mengulangi ucapannya
tadi. Saking jengkelnya aku sampai ingin mencubitnya sampai dia mau ngomong.
Tanpa sadar ini terjadi lagi. Kehangatan yang terpancar dari senyumnya seolah
menular, mengajakku melupakan semua dan terbuai dengan suasana yang ia
ciptakan. Selalu seperti ini. Saat Bapak dan Ibu ku meninggal, dia juga
satu-satunya yang bisa membuatku menatap hidupku di depan. Kalo udah seperti
ini... siapa malaikatnya ?
“Sejak kapan Tokek
warnanya putih abu-abu ?”
Perhatian kami
langsung teralih pada seorang cewek cantik berambut panjang yang tiba-tiba datang
dan kini menatap aneh sesuatu di balik pohon. Namanya Wanda. Dia juga salah
satu sahabat baikku. Satria tiba-tiba berdehem keras seolah tau apa maksud
Wanda. Dengan bingung aku hanya menatap mereka bergantian, mencoba mencari
petunjuk, sampai Karish muncul dari balik batang pohon.
“Kalo gue foto lo
dengan pose kayak tadi. Gue yakin fans-fans lo bakal rela bayar 50rb perlembar...”
Satria mengedipkan mata jail ke arah Karish “Gue bisa lebih kaya dari lo.” Dengan
sadisnya, Karish langsung njitak kepala Satria kurang dari sedetik sebelum
Satria tutup mulut.
“Kalo lo berani,
gue bakal lelang foto lo yang ganti baju di ruang olaraga. Pasti gue lebih
kaya, ngeliat fans lo yang lebih bringasan.” Tawa langsung meledak dari kami
berempat, teringat insiden bodoh foto Satria itu sudah memporak-porandakan
cewek satu sekolah. Aku berusaha menahan tawa ku sampai rasanya airmataku
keluar lebih dari yang seharusnya. Tanpa sadar, aku sudah terlihat seperti
menangis deras sambil ketawa nggak jelas. Sahabat-sahabatku perlahan
menghentikan tawanya dan menggantinya dengan senyum hangat. Wanda memelukku
perlahan kemudian mengusap airmataku.
“Well, lo udah
ngerasa baikan kan ?” Aku hanya bisa mengangguk kuat sambil tersenyum lebar.
“Thank’s ya, Guys.
Gue nggak tau musti ngomong apalagi.”
Mereka semakin
memperlebar senyum seolah menegaskan kalau itu cukup.
“Gue... ambil tas
lo dulu. Setelah itu baru lo gue anter pulang.” Aku langsung menggeleng ke arah
Satria yang sudah berancang-ancang pergi.
“Nggak usah! Gue
nggak pa pa kok. Lagian inikan belum waktunya pulang.”
“Tapi lo butuh
istirahat. Tenang aja, nanti soal izin biar kita yang urus, iya kan, Wan?”
Wanda juga mengangguk mantap seolah itu hal yang mudah.
“Tenang aja. Lo
bisa manfaatin kekuasaan putra-putri Dewan Agung ini sampe lo puas kok.” Aku
hanya bisa tersenyum geli mendengar jawaban Wanda itu, sambil menatap mereka
bertiga bergantian. Dan dengan cepat Wanda
dan Satria melangkah pergi.
Aku menghela nafas,
lega. Tidak menyangka semua terasa lebih mudah sekarang. Ini karena ada mereka
disekelilingku. Dan pastinya, karena Satria...
“Nggak salah kan
kalo gue bawa Satria ke sini ?” Dek! Seketika aku langsung menatap Karish,
sedikit terkejut dengan pernyataannya barusan.
“Kaget juga sih
kalo ternyata pengaruh Satria sebesar itu ke lo. Tapi dari awal, semua juga
udah tau, kalo lo suka Satria.”
Aku hanya bisa
membisu mendengar pernyataan terang-terangan dari Karish. Tak ada bantahan
sedikitpun karena itu memang benar. Aku memang menyukai Satria. Hanya kagum
mungkin. Mengingat dia satu-satunya yang selalu mendukungku saat hidup seolah
berkhianat. Tapi belakangan aku sadar rasa itu lebih dari suka yang ku tau.
Perasaan ini sudah jauh berubah.
“Kenapa lo nggak
nembak dia aja ?” Dek!
“Apa ? lo gila.
Nggak mungkin lah.”
“Kenapa? karena lo
cewek ? Udah nggak jamannya kali gengsi-gengsi an. Atau... karena sebenernya lo
takut kalo ‘kutukan’ itu bukan hanya berlaku buat cowok yang lo tolak, iya ?”
Tenggorokanku
langsung tercekat, tak bisa berkata apapun menanggapi pernyataan Karish yang
seolah bisa mengorek semua fikiranku. Dan dia hanya menghela nafas pendek
kemudian tertawa kecil.
“Wah wah wah wah...
cinta segitiga ini rumit juga ya”
“Cinta segitiga ?
satu nya siapa ? Wanda ?”
“Hah? Maksud lo
Wanda naksir Satria? nggak mungkin! Dia punya pangerannya sendiri. Lakon
satunya, gue lah... masa lo nggak sadar sih ?” Aku malah lebih terkejut lagi
sekarang, sampai tak sadar kalo aku masih berpose melongo begok depan Karish.
Senyum Karish langsung tersungging tipis, khas miliknya, kemudian mendekat seolah
akan mengatakan sesuatu yang penting.
“Lo nggak sadar
ya... dari dulu gue kan.... pasangan homonya Satria!” Diieengg..
“Nggak Mungkin Lah
Saraaaappp...!” TAKK!
“ADDOOOUUUU....”
Karish langsung berteriak kesakitan jingkat-jingkat setelah menerima jitakan
maut dariku. “Gila lo, sakit beneran tau. Gue nggak bohong, gua ama Satria
emang udah bosen sama cewek yang cuma bisa teriak-teriak kalo ngeliat gue
nge-band ato pas Satria basket. Apalagi cewek macam lo, yang rela masuk ekstra
cuma buat kecengan.”
“Apa lo bilang ?
masih kurang juga jitakan gue ? iya ?”
“Iiiaaa.... ampun
ampun, iya iya gue salah.” Mataku menyipit mencoba mencari-cari kebohongan di
wajah anak nyebelin ini. Tapi yang kulihat malah perubahan raut wajahnya yang
entah kenapa kini terlihat sendu.
“Gimana... kalo gue
bantu buktiin, kalo kutukan lo itu emang nggak ada.” Dekk...!
***
Tubuhku limbun,
jatuh terduduk diatas gundukan tanah penuh taburan bunga di depanku.
Orang-orang disekitar lansung menghujamiku dengan tatapan benci sekaligus
mendorong tubuh mereka menjauh. Tak perlu repot-repot memikirkan sikap mereka
itu, hatiku sendiri sudah hancur setelah mendengar sahabatku, Karish,
meninggal.
Mataku terpaku
menatap makam itu dengan batin remuk. Kusentuh tanah diatasnya berharap itu
hanya bayangan tak nyata, mimpi yang sebentar lagi berakhir. Tapi tanah basah
itu nyata, bunga tabur itu nyata, semuanya nyata, dan sahabatku benar-benar
pergi...
Setetes airmata
jatuh, diikuti tetes-tetes berikutnya yang tidak dapat aku hentikan. Semua ini
salahku. Aku yang buat Karish meninggal. Kutukan itu ada. Dan kali ini, dengan
teganya, aku ngasih kutukan itu ke dia. Aku tidak bisa menghentikan rasa sakit
yang kini menjalar keseluruh tubuhku yang bergetar. Rasa bersalah dan
penyesalan memenuhi dada hingga terasa menyesakkan. Aku tidak menginginkan
semua ini, bukan begini, kenapa ini yang harus terjadi.
PLAAKKK...
Aku bisa merasakan
darah di pipiku mendidih. Dalam kabut mata, samar-samar aku melihat sosok Ibu
Karish yang kini menatapku dengan tatapan kebencian. Aku tidak bisa mengatakan
apapun. Tenggorokanku tercekat, tak bisa bersuara. Yang kulakukan hanya menatap
mata orang yang sudah kusakiti ini, berharap ia tau penyesalanku.
“Saya... selalu
menganggap kamu sebagai bagian dari keluarga karena kamu teman baik Karish.
TAPI APA? Ini balasan kamu setelah kebaikan yang kamu terima dari anak saya.
Dia tidak pantas bernasib seperti ini. Dia tidak pantas mendapat ini semua
hanya karena dia menyukai kamu!”
Rasanya baru saja
sebuah pisau tajam melesat, tepat, menikam jantungku. Kenyataan yang aku dengar
tadi sekali lagi menegaskan apa yang terjadi. Tak ada yang bisa aku lakukan.
Tak sepatahpun kata pembelaan yang bisa keluar dari mulutku. Tidak! Bahkan kata
maaf pun tak akan pantas untuk seorang pembunuh sepertiku. Dalam penyesalan,
aku hanya bisa melihat Ibu Karish berjalan pergi meninggalkanku dengan luka
mengangah yang mungkin tak akan bisa sembuh, selamanya.
Di sisi lain, aku hampir
tidak menyadari sepasang mata menatapku dengan tatapan yang tidak bisa aku artikan.
Seseorang yang sekelebat tertangkap oleh sudut mataku saat ia berjalan menjauh.
Aku berbalik, mencari seseorang itu. Dia...DEKK...
Aku
hanya dapat menelan ludah, getir, saat menyadari sesuatu.
Terlalu takut, hingga membuat hampir
seluruh tubuhku mengejang. Punggung yang menjauh itu
milik seseorang yang sangat aku kenal. Satu-satu nya orang yang ingin aku tutup
mata dan telinganya agar tidak mengetahui ini semua...orang yang ingin aku
sembunyikan dari fakta yang menyakitkan hati...orang yang paling aku harapkan
tidak akan membenciku setelah ini...
“Satria....”
Aku berteriak. Namun
hanya seperti pekikan bisu yang hanya aku sendiri yang bisa mendengar. Satria
tetap berjalan menjauh. Tak sedikitpun berbalik, bahkan menoleh. Refleks, aku
berlari dan menarik tangannya, walau kenyataannya aku hanya bisa menyentuh lengannya
tanpa sanggup berbuat apapun.
Satria terhenti. Namun
ia bergeming. Aku mencoba menata hatiku. Berharap tak sedikitpun ada perasaan
benci yang tersorot dalam matanya. Namun harapanku langsung pupus saat melihat
mata sembab yang sedari tadi dipalingkannya dariku kini menatapku tajam. Cukup dengan tatapan
itu seharusnya aku tau apa yang Satria fikirkan. Tapi aku berusaha menutup mata seolah semuanya masih baik-baik saja.
“Apa
lo juga benci gue ?”
Pertanyaan yang ku
lontarkan dengan bibir setengah bergetar tadi, di jawab Satria dengan tatapan perih yang seolah menembus ulu hati. Aku tidak bisa melihat sedikitpun mata yang selalu menatapku dengan
hangat dulu. Tak ada senyuman seindah malaikat yang tersungging dari bibirnya.
Yang terlihat hanya kemarahan dan kecewa… takut dan
kesedihan…
“Mulai
sekarang, lo harus jalan sendiri. Gue udah nggak bisa jadi pendukung orang yang
bahkan nggak mau ngorbanin gengsinya buat nyelametin nyawa sahabatnya sendiri.”
Dekk… Kata-kata Satria itu seketika membuat seluruh
tubuhku melemas. Satria benar, aku
cuma cewek egois yang nggak mau ngorbanin sedikit harapannya. Tapi membiarkaku
berjalan sendiri? Apa itu artinya, sekarang dia mau ninggalin aku. Ah maksudku,
benar-benar menjauh, pergi... Tapi itu...
“Itu
nggak mungkin! Nggak! Gue udah kehilangan Karish, gue nggak bisa kehilangan lo
juga.”
“Maaf,
tapi gue juga nggak bisa. Gue mohon, jangan pernah ganggu gue lagi setelah ini.
Permisi...” Dengan susah payah aku berusaha mempertahankan lengan yang hampir
melenggang pergi. Getaran tubuhku semakin hebat, tangan ku sudah memutih,
menggigil sedingin es. Mataku berkabut penuh airmata hingga yang kulihat hanya
bayangan punggung Satria yang hampir pergi. Kupegang erat-erat tangan yang ku
raih, walau sebenarnya tenagaku hanya kuat untuk menyentuhnya. Aku takut, jika
aku melepaskan tangan ini, selamanya aku tidak akan bisa meraihnya. Aku akan
kehilangan seseorang yang sangat penting. Tidak, aku tidak bisa, aku tidak mau
kehilangan Satria.
Dengan
sekali hentakan keras, tanganku terlepas, sampai membuat tubuhku terhuyun limbun,
hampir terjatuh. Wanda muncul, entah darimana, segera menopangku agar tetap
berdiri. Dari sisa-sisa kesadaran yang ku punya, aku melihat Satria pergi.
Benar-benar pergi. Tidak ada kata yang bisa keluar. Aku hanya bisa merasakan
sakit dari sisa-sisa kepingan hatiku yang mulai hancur. Wanda mengusap kepalaku
sambil menangis, tangannya juga mendingin. Tapi dia berusaha menatapku dengan
tegar.
“Maafin
Satria, dia nggak bermaksud kayak gini. Gue juga harus ikut Satria pergi. Dia
pasti marah besar kalo tau gue sama lo. Ini cuma sementara, oke. Apapun yang
terjadi, gue nggak peduli. Kita masih tetep sahabatan. Suatu saat nanti, gue
janji. Kita pasti akan kembali seperti dulu...”
Aku
membenamkan diri dipelukan Wanda sambil menangis keras. Semua sudah berakhir.
Persahabatan ini berakhir. Aku tau setelah hari ini, mungkin aku hanya akan
melihat mereka dari jauh. Mungkin sesekali Wanda masih akan mengunjungiku tanpa
sepengatahuan Satria. Tapi semua sudah berubah. Semuanya telah pergi. Dan yang
bisa kulakukan hanya berdoa. Mulai berharap dengan harapan yang muncul karena
hari ini. Semoga kami akan bersama-sama lagi, berjalan dan tertawa. Tak perlu
rasa ini terbalas. Cukup persahabatan kami kembali. Itu sudah cukup.
***
menarik banget!!
BalasHapusaku tungguin chapter selanjutnya ya bo! :)
well, aku suka banget bagian ini "Aku takut, jika aku melepaskan tangan ini, selamanya aku tidak akan bisa meraihnya. Aku akan kehilangan seseorang yang sangat penting. Tidak, aku tidak bisa, aku tidak mau kehilangan Satria."
keep writing!! :*
makasih yaa....
Hapusmaaf baru bales komennya
tetep jadi pembaca setia ya :*
iyaaah bebo :*
HapusAku tunggu yang kedua.. :)
BalasHapuswah mas nya juga baca..
Hapusmakasih ya mas :)
seep...
maaf agak telat post part 2 nya
in progress
tetep setia baca ya...
haha...
waduh, ini mah master namanya. :D, ditunggu kelanjutannya. feelnya dapet banget nih
BalasHapusmakasih papa
Hapuskita sama-sama belajar
iya >.<
tungguin kelanjutannya yaa...
uwih... cool...
BalasHapusmakasih...
Hapusdatang di part selanjutnya yaa...
kereenn :')
BalasHapusditunggu part selanjutnya :))
makasih kakak...
Hapussip!
nanti special tag deh buat kakak cantik :*