Menunggu sudah seperti rima hidup yang sebulan belakangan ini ku lakoni. Aku sampai tidak tau bedanya itu dengan menghirup oksigen. Semua seolah berjalan melambat dan aku sendiri yang berlari maraton. Tanpa sadar kau tertinggal. Jadi ketika aku berhenti, menengok ke belakang sejenak, aku tersadar aku harus menunggu. Melakukan kegiatan yang sebenarnya dengan senang hati akan ku lakukan jika saja tidak ada yang namanya waktu.
Sadarkah kau berapa lama aku harus selalu menunggumu? Gerakanmu seolah adegan slow motion yang memaksaku dua kali lipat lebih sabar menanti akhir. Duduk di bangku yang sama, mengantisipasi bukan hanya penyakit lelet, tapi mungkin juga amnesia tiba-tiba bercongkol di kepalamu. Sekarang, aku tidak hanya menghitung kelopak bunga, tapi juga menghitung rumbai taplak meja, hingga domba-domba yang sekarang mulai melompat-lompat di depan mataku.
Aku bosan, hei kau koruptor waktu. Terlalu banyak saat yang aku habiskan untuk menyambut kedatanganmu yang monoton. Tidak ada tampilan istimewa dari kemeja biru tua yang kau pakai. Tidak ada lagi sesuatu yang berbeda dari cara berdirimu yang suka menumpuh di kaki kiri. Hanya aku bersyukur goresan senyum di wajahmu tidak ikut terkikis waktu yang terbuang.
Tidak ada kata atau pelukan minta maaf. Tidak perluh. Karena begini lah kita. Dua jarum yang baru bisa benar-benar bertemu setelah 12 jam memutar. Bertemu hanya di dua saat di satu hari yang panjang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar