Jumat, 30 Oktober 2015

Avatar

Bayangkan sekarang kamu berdiri di tengah sebuah perang. Pertanyaannya bukan lagi bagaimana harus menang, tapi berubah menjadi bagaimana kau bisa tetap hidup.

Kakiku mungkin sedang menginjak bumi. Tapi bisa saja alam bawah sadarku memvisualkan negeri anta berantah dengan pemandangan menyejukkan. Aku masih bisa membaui padang rumput keemasan yang terbakar matahari. Masih ingat birunya langit dan kencangnya angin yang menerpa wajahku. Jalanan yang tidak rata menuju bukit kecil di sana, aku lewati dengan tergesah-gesah. Aku tidak ingat bagaimana aku bisa tiba di sana. Namun begitu menemukanmu di bawah pohon Oak tua, berdiri mematung tanpa sepatah kata apapun, entah mengapa aku merasa lega.


Di Antara Langit dan Samudra

Ini seperti aku sedang terjun ke lautan lepas, persis di tengah samudra.


Apa sih yang aku ingini sekarang? Bersenang senang menikmati ciptaan Tuhan, atau bunuh diri? Bukannya apa, konstelasi bintang memang bergerak indah di musim panas. Bahkan rasi biduk yang biasanya baru bisa ku nikmati menjelang pukul 9 malam, kini bertengger malu-malu di dekat jalan susu. Aku tidak perluh pergi ke Bosca sekedar untuk merasakan sensasi berenang di luar angkasa. Aku cukup menguatkan hati untuk berani menatap dua bola matamu, dan aku menemukan seluruh dunia di sana.

Indah sekaligus menakutkan. Menyenangkan memang berlari kecil, sambil bermain air di tepi pantai. Tapi bagaimana jika ombak menyeretku ke lautan dalam? Aku tidak takut tenggelam, karena sekarang aku sadar tidak lagi di pinggir pantai berpasir, namun jurang tinggi yang sengaja aku datangi. Tidak ada warna biru laut. Hanya kekosongan tak berujung dari hitamnya air yang memantulkan bintang-bintang.

Tik Tok





Menunggu sudah seperti rima hidup yang sebulan belakangan ini ku lakoni. Aku sampai tidak tau bedanya itu dengan menghirup oksigen. Semua seolah berjalan melambat dan aku sendiri yang berlari maraton. Tanpa sadar kau tertinggal. Jadi ketika aku berhenti, menengok ke belakang sejenak, aku tersadar aku harus menunggu. Melakukan kegiatan yang sebenarnya dengan senang hati akan ku lakukan jika saja tidak ada yang namanya waktu.

Sadarkah kau berapa lama aku harus selalu menunggumu? Gerakanmu seolah adegan slow motion yang memaksaku dua kali lipat lebih sabar menanti akhir. Duduk di bangku yang sama, mengantisipasi bukan hanya penyakit lelet, tapi mungkin juga amnesia tiba-tiba bercongkol di kepalamu. Sekarang, aku tidak hanya menghitung kelopak bunga, tapi juga menghitung rumbai taplak meja, hingga domba-domba yang sekarang mulai melompat-lompat di depan mataku. 

Aku bosan, hei kau koruptor waktu. Terlalu banyak saat yang aku habiskan untuk menyambut kedatanganmu yang monoton. Tidak ada tampilan istimewa dari kemeja biru tua yang kau pakai. Tidak ada lagi sesuatu yang berbeda dari cara berdirimu yang suka menumpuh di kaki kiri. Hanya aku bersyukur goresan senyum di wajahmu tidak ikut terkikis waktu yang terbuang.

Tidak ada kata atau pelukan minta maaf. Tidak perluh. Karena begini lah kita. Dua jarum yang baru bisa benar-benar bertemu setelah 12 jam memutar. Bertemu hanya di dua saat di satu hari yang panjang.