Katakan padaku satu hal! Maukah kau menjamin aku akan bahagia jika memilihmu?
Pernah aku datang ke sebuah tempat. Asing. Tapi aku merasa pernah datang ke sana. Berkali-kali. Samar ingatanku merapal anak-anak tangga putih yang akan mengantarku pada pintu mahoni berdaun dua di ujungnya. Tidak perlu aku mengintip dari lubang kunci untuk tahu rumah macam apa yang ada di hadapanku itu. Wallpaper cream dengan sulur samar, lantai marmer yang entah warnanya putih atau abu-abu, rumah bergaya eropa modern minimalis dengan dua bangunan utama yang terpisah. Walaupun ingatanku tak menggambarkannya dengan jelas, aku tau satu hal. Aku tidak suka tempat itu. Aku tak pernah ingin kembali ke sana.
Sensasi itu aku ingat lagi saat melihat tatapanmu. Perasaan familiar sekaligus asing. Membuatku ragu untuk menyambut tangan yang kau ulurkan dengan senyum tipis. Di bawah lampu sorot 100 watt jalanan depan warung kopi tongkrongan kita, aku memutuskan satu hal. Aku tidak boleh melewati jalan itu. Jalan yang kau tawarkan tanpa banyak berfikir. Ungkapan kebaikan hati yang terlampau murah sampai rasanya tidak mungkin. Karena tanpa kau mengatakan apapun, aku sudah tau. Aku terlalu paham lorong-lorong dalam rumah itu. Terlalu hafal dengan hiasan dinding yang menghiasi tangga ke lantai berikutnya. Sesuatu yang bahkan tidak pernah kau tau. Jika aku memutuskan untuk kembali kesana. Mungkin tidak akan ada lagi kesempatan untukku melarikan diri.